Angin gunung yang berhembus di malam hari terasa begitu menusuk tulang. Entah mengapa penurunan suhu seakan selalu terjadi mewarnai musim pancaroba. Barangkali perubahan tekanan udara yang drastis dari musim penghujan ke musim kemarau telah membuat angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Yang jelas, malam-malam di bulan Agustus ini terasa semakin dingin. Hujan yang biasanya menderas setiap hari, kini seakan enggan menyambangi bumi, kata orang tua, pertanda kemarau panjang akan hadir di tengah kita.
Beberapa rumah sudah merasakan akibatnya, sumur yang digali tidak terlalu dalam kini sudah mengalami penurunan debit air. Sungai yang melintang di ujung gang juga nampak lebih dangkal dari biasanya. Para petani di sawah mulai sibuk bikin jadwal irigasi supaya sawah dan kolam bisa tetap diairi. Kejadian ini sebenarnya amat jarang terjadi di daerah saya, karena daerah tempat saya tinggal tergolong daerah dengan curah hujan cukup tinggi dan termasuk daerah dengan poetnsi air yang melimpah. Barangkali ini sebuah teguran bagi kami yang seringkali melalaikan nikmat air bersih. Alih-alih melestarikan sumber air bersih, tak jarang malah ikut andil merusak keseimbangan alam.
Melihat seluruh fenomena ini saya jadi teringat seorang kawan yang saya kenal ketika safar. Hari itu kami sama-sama mendapati kamar mandi masjid kehabisan air, padahal kami sudah cukup lama mengantri untuk mandi. Karena merasa senasib, akhirnya kami berdua duduk-duduk di serambi masjid sambil mengobrol, mengusir bosan saat menunggu kiriman air dari PDAM.
Belum sempat saya mengeluh, perempuan bernama mbak Wiwin itu sudah bercerita banyak tentang kehidupannya selama tinggal di salah satu sudut kota Jakarta. Dia menempati sebuah rumah kontrakan di daerah kumuh di dekat stasiun Jatinegara. Setiap hari dia harus membeli air dengan cara mengantri, dan itu selalu dilakukannya sejak jam 2 pagi, kalau sampai lewat jam 2, bisa-bisa tidak kebagian air.
Air yang dibelinya itu hanya mampu digunakan untuk kepentingan memasak dan mencuci, untuk mandi dia memilih mandi di masjid ini, karena kebetulan lokasinya dekat dengan tempat kerjanya. Proses mencuci bajunya juga tergolong unik, karena air yang sudah digunakan untuk membilas pakaian, masih harus ditampung kembali dan diendapkan untuk mencuci gerabah.
Mendengar ceritanya saya hanya bisa menghela nafas, mengusir sesak yang memenuhi dada saya. Kehidupan saya di lereng gunung Slamet membuat saya bisa dikatakan bebas masalah pengairan. Bahkan di daerah saya masih terdapat beberapa mata air yang dibiarkan mengalir begitu saja. Terbayang dalam pikiran saya, betapa kurangnya rasa syukur terhadap nikmat air bersih yang begitu melimpah dalam kehidupan sehari-hari. Sementara sebagian orang mendapatkan air bersih melalui proses panjang dengan penuh perjuangan.(Ied ide I did)