Minggu, 28 Agustus 2011

Air Air Air...

Angin gunung yang berhembus di malam hari terasa begitu menusuk tulang. Entah mengapa penurunan suhu seakan selalu terjadi mewarnai musim pancaroba. Barangkali perubahan tekanan udara yang drastis dari musim penghujan ke musim kemarau telah membuat angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Yang jelas, malam-malam di bulan Agustus ini terasa semakin dingin. Hujan yang biasanya menderas setiap hari, kini seakan enggan menyambangi bumi, kata orang tua, pertanda kemarau panjang akan hadir di tengah kita.


Beberapa rumah sudah merasakan akibatnya, sumur yang digali tidak terlalu dalam kini sudah mengalami penurunan debit air. Sungai yang melintang di ujung gang juga nampak lebih dangkal dari biasanya. Para petani di sawah mulai sibuk bikin jadwal irigasi supaya sawah dan kolam bisa tetap diairi. Kejadian ini sebenarnya amat jarang terjadi di daerah saya, karena daerah tempat saya tinggal tergolong daerah dengan curah hujan cukup tinggi dan termasuk daerah dengan poetnsi air yang melimpah. Barangkali ini sebuah teguran bagi kami yang seringkali melalaikan nikmat air bersih. Alih-alih melestarikan sumber air bersih, tak jarang malah ikut andil merusak keseimbangan alam.



Melihat seluruh fenomena ini saya jadi teringat seorang kawan yang saya kenal ketika safar. Hari itu kami sama-sama mendapati kamar mandi masjid kehabisan air, padahal kami sudah cukup lama mengantri untuk mandi. Karena merasa senasib, akhirnya kami berdua duduk-duduk di serambi masjid sambil mengobrol, mengusir bosan saat menunggu kiriman air dari PDAM.



Belum sempat saya mengeluh, perempuan bernama mbak Wiwin itu sudah bercerita banyak tentang kehidupannya selama tinggal di salah satu sudut kota Jakarta. Dia menempati sebuah rumah kontrakan di daerah kumuh di dekat stasiun Jatinegara. Setiap hari dia harus membeli air dengan cara mengantri, dan itu selalu dilakukannya sejak jam 2 pagi, kalau sampai lewat jam 2, bisa-bisa tidak kebagian air.



Air yang dibelinya itu hanya mampu digunakan untuk kepentingan memasak dan mencuci, untuk mandi dia memilih mandi di masjid ini, karena kebetulan lokasinya dekat dengan tempat kerjanya. Proses mencuci bajunya juga tergolong unik, karena air yang sudah digunakan untuk membilas pakaian, masih harus ditampung kembali dan diendapkan untuk mencuci gerabah.



Mendengar ceritanya saya hanya bisa menghela nafas, mengusir sesak yang memenuhi dada saya. Kehidupan saya di lereng gunung Slamet membuat saya bisa dikatakan bebas masalah pengairan. Bahkan di daerah saya masih terdapat beberapa mata air yang dibiarkan mengalir begitu saja. Terbayang dalam pikiran saya, betapa kurangnya rasa syukur terhadap nikmat air bersih yang begitu melimpah dalam kehidupan sehari-hari. Sementara sebagian orang mendapatkan air bersih melalui proses panjang dengan penuh perjuangan.(Ied ide I did)

Taubat Anak Genk

Malam tubuh Aryo bekerja ekstra keras, melawan udara dingin Cikole yang terasa membekukan darah. Kakinya terus terseok-seok menyusuri jalan setapak di antara batang-batang pinus yang menjulang. Hanya cahaya bintang di musim kemarau yang menemani perjalanannya.



Malam ini panitia menyebar peserta pesantren dengan jarak yang membuat mereka tidak mungkin berinteraksi satu sama lain. Tidak ada komunikasi apapun kecuali sebuah kentongan bambu yang hanya boleh dipukul jika ada bahaya mengancam. Begitu aturan main dalam perjalanan malam ini. Aryo tidak akan ambil pusing dengan peraturan konyol macam itu, tapi dia juga tidak bisa berulah, mau teriak? tengsin sama peserta lain, mau tidur? jelas bukan pilihan bijak di udara 5 derajat celcius.



Dibayangkannya wajah Leo, Bram, Ishak dan David, mereka pasti akan mengejek Aryo habis-habisan kalau sampai tahu dia ikut acara pesantren liburan. Terbayang dalam benak Aryo lelucon apa yang akan mereka lontarkan, dia akan menjadi bahan olok-olok teman gank motornya sampai berbulan-bulan. Setengah menyesali keputusannya dia terus melangkah, sambil membayangkan sebatang rokok menemaninya melewati malam.



Hatinya semakin gelisah, berulangkali dia mengumpat dirinya sendiri. “Shit! Seharusnya kutolak mentah-mentah tawaran mama! Seharusnya malam ini aku sedang bersenang-senang bersama teman-temanku!”, terbayang sebuah motor sport ninja keluaran terbaru yang dijanjikan mamanya, hadiah jika dia mau mengikuti pesantren liburan bersama sepupunya. Bayangan dirinya yang tengah menaiki motor itu sedikit membantu mengobati gelisah hatinya.



Kabut turun perlahan, begitu anggun asap putih itu membatasi pandangan mata Aryo, namun anehnya dalam pandangan mata Aryo kabut itu seakan membentuk lafadz Alloh, perlahan tapi pasti kabut itu menyelimutinya dengan hawa dingin yang sangat menusuk. Rasa takut menguasai dirinya, keringat dingin mebasahi keningnya, dia ingin berlari menjauh tapi kakinya begitu berat untuk melangkah, dia merasakan kabut itu menahannya, hingga kedua kakinya tak sanggup lagi untuk berdiri, kabut itu memeluknya erat, membekukan darahnya. Sekuat tenaga Aryo memukul kentongan di tangannya, dia menyerah.

***

Malam berlalu begitu cepat, seluruh peserta telah berkumpul kembali di tanah lapang usai melaksanakan sholat Subuh berjamaah. Ustadz Hilman memberikan perenungan yang begitu dalam, malam ini mereka telah belajar tentang ketauhidan, bahwa hakekatnya manusia tak pernah sendiri, sebab Alloh selalu mengawasi hamba-hambaNya.



Sebuah tepukan lembut mengagetkan Aryo yang setengah tertidur dalam duduknya. “Aryo, ikut saya sebentar ada hal penting yang akan saya sampaikan!” ujar suara kang Iman, pembimbing kelompoknya selama mengikuti pesantren. Dengan langkah malas Aryo mengikuti kang Iman. “Yo, maaf saya harus menyampaikan hal ini, ada berita duka dari mamamu, teman kamu David dan Leo kecelakaan, David sekarang dalam kondisi kritis, dan Leo...” kang Iman berhenti sejenak sebelum akhirnya menyempurnakan perkataannya, “Leo tidak bisa diselamatkan, hari ini rencananya akan dimakamkan jam 10.”



Aryo terdiam, ada perih yang memenuhi setiap sudut hatinya. Dia tidak ingin menangis, lebih tepatnya tidak mampu menangis,nafasnya seakan terhenti, Aryo tak mampu berkata-kata, tergambar jelas dalam ingatannya peristiwa semalam, terngiang dalam benaknya ucapan Ustadz Hilman, “Dalam keadaan bagaimana malaikat maut akan menjemputmu?” , hanya kata itu yang memenuhi benaknya. Hatinya menuntun langkahnya menuju deretan kran air di sisi belakang tenda, entah mengapa dia ingin sekali mengambil air wudhu.



-Kenangan Ramadhan beberapa tahun lalu di Cikole-(Ied ide I did)