Sabtu, 24 September 2011

Selamat Datang Di Tatanan Dunia Ya'juj & Ma'juj (The Gog & Magog World Order)

Dalam Al Quran hanya ada 2 tempat dimana Ya'juj & Ma'juj disebutkan secara explisit: Surah Al-Kahfi 94 dan Anbiyaa' 95-96. Dalam Al Hadith, Rasulullah SAW menyebutkan (dilepaskannya) bangsa Ya'juj & Ma'juj sebagai salah satu dari 10 tanda-tanda (besar) telah amat dekatnya Hari Kiamat. Disebutkan juga dalam Hadith Qudsi (Sahih Muslim) bahwa Allah telah memberikan kepada bangsa Ya'juj & Ma'juj kekuatan yang luar biasa, yang tidak ada siapapun di muka bumi ini yang bisa menghancurkannya, selain dari Allah SWT sendiri. Dari sebuah Hadith Qudsi yang lain (Shahih Muslim) disebutkan nabi Adam kelak akan diperintahkan Allah untuk memisahkan anak-anak keturunannya yang akan dimasukkan ke neraka dan ke surga, dengan perbandingan 999 ke neraka dan 1 ke surga. Nabi SAW bersabda (dalam Hadith ini) bahwa 999 dari 1000 itu merupakan mereka yang berafiliasi (menjadi segolongan) dengan kaum Ya'juj dan Ma'juj, sedangkan yang 1 dari 1000 adalah orang-orang yang (benar-benar) Muslim. Dikandung maksud bahwa sebagian besar manusia akan diseret masuk ke dalam golongan Ya'juj & Ma'juj sehingga jumlah orang2 yg benar2 beriman hanya tinggal 1 dari 1000.

Secara bahasa, Ya'juj & Ma'juj berarti "mereka yang membakar (Ya'juj) namun mereka sendiri juga terbakan (Ma'juj)". Di antara poin-poin penting di dalam QS Al Kahfi 94 terdapat sifat yang paling menonjol dari bangsa yang disifati Allah sebagai Ya'juj & Ma'juj ini, yaitu: "mufsiduuna fi al-ardh", pembuat "fasaad" di muka bumi. "Fasaad" adalah upaya perusakan dan penghancuran hidup dan kehidupan manusia yang dilakukan secara terncana (deliberate) dan sistematis. Dalam ayat ini tidak disebutkan kerusakan apa yang mereka perbuat, oleh karena itu diambil pengertian bahwa mereka melancarkan "segala jenis fasaad". Ada berapa jenis "fasaad"? Al Quran menyebutkan ada 7 macam: (1) Fasaad genosida, pembunuhan massal, pertumpahan darah (Al-Baqarah 30), (2) Fasaad pertanian & tanam-tanaman (Al-Baqarah 205), (3) Fasaad terhadap anak keturunan (reproduksi manusia) (Al Baqarah 205), (4) Fasaad Ekonomi & Perdagangan (sistem Ekonomi & Keuangan Ribawi) (Al-A'raf 85), (5) Fasaad sodomi, homosexual & gay (Al-Ankabut 29-30), (6) Fasaad terhadap tali silaturahmi keluarga (Al Baqarah 27), (7) Fasaad terhadap agama (liberalisasi & reinterpretasi agama) (Al-Baqarah 27). Apakah semua ini sudah/sedang terjadi di hadapan kita? Bisakah kita merasakannya?
Dalam Surat Al Anbiya 95-96 disebutkan bahwa ada "sebuah kota" (qaryatin) yang telah dihancurkan oleh Allah dan penduduknya diusir dari kota itu, dan mereka tidak akan bisa kembali untuk menguasai kota itu lagi.... sampai suatu saat (mereka akan bisa menguasai kota itu kembali), yaitu ketika Ya'juj & Ma'juj telah dilepaskan dan telah "turun dari setiap tempat yang tinggi dan menyebar ke segala penjuru" (min kulli hadabi yansiluun). Dengan kata lain, Ya'juj & Ma'juj akan dilepaskan dan mereka akan bekerja keras (sesuai sifatnya & kekuatannya yang hebat) hingga mereka bisa mendomimasi dunia dengan kekuasaannya. Setelah itu, mereka akan bekerja untuk merestorasi "kota" itu, melindunginya & menjaganya, dan meluncurkan program-program dan kampanye bagi "orang-orang yang dahulu terusir" dari "kota" itu, untuk kembali tinggal di dalamnya dan menguasainya sendiri. Pertanyaannya, "kota" manakah yang dimaksud? "orang-orang yang diusir" itu siapa? apakah mereka sudah kembali ke "kota" itu?

Dari 50-60an hadith shahih tentang Ya'juj & Ma'juj, ternyata hanya ada 1 hadith (Shahih Muslim) yang menyebutkan tentang Ya'juj dan Ma'juj dan sebuah kota. Dan hanya ada 1 kota yang disebut di dalamnya, yaitu: Baitul Maqdis (Jerusalem, di Palestina). Maka bisa disimpulkan bahwa "kota" itu adalah Jerusalem. Data politik dan sejarah juga mendukung kesimpulan ini. Dalam kitab Tauraat disebutkan dengan jelas bahwa Allah menghancurkan Jerusalem karena kedurhakaan penghuninya, dan mengusir penguhinya waktu itu (Bangsa Yahudi 2000 tahun yang lalu) keluar dari kota itu dan mereka hidup berpencar-pencar di tanah-tanah bangsa lain. Dilarang untuk kembali ke Jerusalem, dan bahkan tidak boleh mendirikan negara sendiri, meski pada tanah-tanah yang tidak bertuan. Data politik juga secara jelas menunjukkan bahwa setelah Perang Dunia I usai, Inggris (superpower masa itu) bekerja keras demi terwujudnya kembali negara Israel sebagai negara kaum Yahudi. Tahun 1948 negara itu terbentuk kembali, setelah 2000 yang lalu dihancurkan oleh Allah. Kini, Amerika Serikat (superpower saat ini) sangat kentara sekali dalam upayanya memproteksi, mempertahankan habis-habisan, dan memberikan bantuan ekonomi besar-besaran kepada Israel. Aneh sekali bukan? Analisis politik macam apa yang bisa menjelaskan fakta-fakta aneh ini secara rasional? Tidak ada yang bisa dijelaskan secara rasional, kecuali jika kita mau kembali kepada Al Quran, terutama Surat Al Anbiyaa 95-96 di atas....

Maka kesimpulannya sangat jelas: (1) Superpower yang menguasai tatanan dunia saat ini adalah Ya'juj & Ma'juj. (2) Satu lagi tanda besar akan datangnya kiamat sudah wujud. (3) Jika kita ridha dan bahkan menjadi sekutu, pendukung, dan bagian dari tatanan dunia yang diusung oleh mereka dengan seluruh nilai-nilainya yang tiada lain adalah "fasaad", maka amat besar kemungkinannya kita akan menjadi anggota dari 999/1000 bagian (hadith di atas). Keridhaan kita atas mereka cukup bagi Allah untuk menggolongkan kita dalam golongan mereka, karena kriterianya adalah: "man tasyabbaha bi qoumin fa huwa minhum (hadith)" Barang siapa yang menyerupai, ridha, condong, kepada suatu kaum, maka ia adalah bagian dari kaum itu.

So, sekali lagi, saudaraku sekalian rahima kumullah... "Selamat datang di Tatanan Dunia Ya'juj & Ma'juj" (dan waspadalah.....)
Wallahu a'lam

Sumber:
Status Berlian Kushari dari Group Fb Alumni ROHIS SMA N 1 Purwokerto
(Ied ide I did)

Solo Randezvous (Sebuah Kisah Perjalananku Selama 3 Hari di Solo)

Part 1
Menimbang Bimbang
Sudah seminggu aku gelisah, harapku tak tentu arah. Meski mungkin bagi sebagian orang adalah perkara sepele. Tapi bagiku ini sesuatu yang penting, bukan karena aku tahu detail perkaranya, tapi ini sekedar soal rasa. Aku merasa ingin berada di Solo, 13 Ramadhan nanti.
Kutatap lekat wajah tanpa daya itu di atas tempat tidurnya. Hatiku menimbang berbagai rasa, antara keinginan dan rasa takut. Keinginanku sendiri untuk menemukan kepingan harapan dan ketakutanku meninggalkan sosok di hadapanku. Sekian lama aku terpaku pada masalah ini. Sampai akhirnya kuputuskan waktu yang menjawabnya.
Malam makin larut, saat sebuah kalimat singkat membantuku memutuskan gundah sekian hari. Sms dari lelaki nomor satu, “sangune kurang ora?”, sms bapakku.
Aku tersenyum penuh kelegaan, itu artinya ridhonya sudah kukantongi. Kini persoalan selanjutnya hanya soal siapa yang akan menjaga perempuan berharga di hadapanku ini? Lagi-lagi hatiku ragu, benarkah apa yang sedang kulakukan? Aku merasa egoku terlalu mengambil spekulasi. Aku bahkan tak tahu siapa yang hendak kutemui? Apa yang akan kuperoleh di sana nanti? Tapi hati kecilku terus mengatakan pergi.
Kutatap sekali lagi perempuan di hadapanku, wajah tuanya menyiratkan ujian hidup tiada henti, aku tahu itu, aku tahu persis kisah hidupnya, lebih mirip seorang ahlul bala’. Aku menghela nafas panjang, mencoba mengingat ganjaran seorang ahlul bala, insyaAlloh surga! Aku kembali menghela nafas, lega.
Sebuah sms kembali masuk, “Besok yang jagain budhe Mbok Mar, kamu jadi ke Solo kan?”, sms mbakyuku. Inikah jalan keluar itu?
Pagi yang dingin di tengah bulan saat musim pancaroba, aku dan mbakyuku menembus kabut menuju stasiun KA Purwokerto. Hatiku masih ragu, jika kereta belum membawaku pergi, ada kemungkinan aku tidak akan kemana-mana.
Biar semua berjalan apa adanya, tak ada harap atau sesal kemudian.
Tiket telah dibeli, kakiku melangkah menaiki gerbong 5 kereta Logawa, dan kakak perempuanku satu-satunya tersenyum melambaikan tangannya, “Aja kelalen bali!” candanya sambil bergegas meninggalkan peron.
Hatiku seringan kapas, setengah tertawa geli, aku memang seringkali keras kepala terhadap keinginanku sendiri, merepotkan banyak orang dan tidak pandai menahan diri. Bahkan untuk sesuatu yang aku belum tahu pasti!
Bismillahirrahmannirrahim. Allahu akbar. Subhanallazi sakhkharalana haza wa ma kunna lahu muqrinin. Wainna ila rabbina lamunqalibin. Allahumma inna nas’aluka fi safarina hazal-birra wat-taqwa wa minal-’amali ma tarda. Allahumma hawwin ‘alaina safarana haza wa atwi ‘anna bu’dah. Allahumma antas-sahibu fis-safari wal-khalifatu fil-ahli. Allahumma inni a’uzu bika min wa’sa’is-safari wa ka’abatil-manzari wa su’il-munqalabi fil-mali wal-ahli wal-walad.
Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, Allah Maha Besar, maha suci Allah tang telah menggerakkan untuk kami kendaraan ini padahal kami tiada kusa menggerakkannya. Dan sesungguhnya kami pasti kepada Tuhan, kami pasti akan kembali. Ya Allah kami memohon kepadamu dalam perjalanan kami ini kebaikkan dan taqwa serta amal perbuatan yang Kau ridhai.
Lirih hatiku menjelma doa-doa...
Logawa berderit menjauh dari stasiun, gerakannya kian cepat seiring gaduh suara-suara yang ditimbulkannya. Angin pagi menyerangku dari segala penjuru, membuat mataku bergerak mengikuti gravitasi, sampai aku teringat aku belum menyelesaikan cerpenku, lima jam untuk sebuah karya lomba? Nekat yang kebangetan, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Sepanjang jalan aku menguasai kursi, perjalanan luar biasa nyaman dengan kereta ekonomi. Aku sedang menuju Solo, tidak mimpi.



Part 2
Senyum Nyatanya
Jam 11 siang Kereta Logawa memasuki Stasiun Purwosari. Para penumpang tujuan Kota Solo sebagian turun disini. Termasuk aku yang bergegas melompat dari kereta Logawa, mengucap syukur dalam hati. Solo setelah bertahun lalu. This is where I’m coming!
Aku menyusuri koridor stasiun, mencari papan bertuliskan exit atau keluar. Masih tak percaya aku sudah di solo. Beberapa tukang ojeg dan supir taksi menawarkan jasanya. Aku hanya menggeleng sambil mengamati situasi. Kulihat sebuah bangku di depan POS POLISI di sudut stasiun, kuputuskan untuk menunggu seorang kawan yang akan menjemputku di bangku itu.
Gadis yang kukenal dari Laskar Kang Nass, Avi Ramadhani, gadis yang selalu membuatku kagum dengan konsistensinya menulis program PSH, sementara aku sendiri sudah gugur di pekan pertama. Aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya. Apakah dia dari arah barat atau timur? Sedang aku sendiri tak tahu mana barat dan timur. Aku tersenyum membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi, jika sampai aku tidak mengenalinya atau dia tidak mengenaliku, dan aku telah bersiap menggelandang di kota Solo, petualangan baru.
Sambil menunggu kuamati kendaraan yang berlalu lalang di depanku. Sebuah bus biru dengan hiasan motif batik yang begitu mempesona, bertuliskan Batik Solo Trans. Aku tersenyum, tapi buru-buru menormalkan wajahku, takut dikira orang gila. Seandainya ada kesempatan suatu hari aku akan naik bus itu, sambil mengenang pengalaman pertamaku yang begitu norak saat naik busway.
Kuamati satu persatu kendaraan yang lewat, perhatianku lebih fokus ketika ada motor yang dikendarai perempuan berjilbab. Apakah itu dia? Gadis yang familiar dengan panggilan Avi?
Tak lama berselang, sebuah sepeda motor berhenti di depan pos polisi, seorang gadis dengan stelan biru muda dan jaket bertuliskan Laskar Kang Nass tersenyum padaku dan aku pun tersenyum padanya, ini pastilah Avi Ramadhani. Kami saling bersalaman seperti kawan yang lama tak berjumpa, padahal baru saja kami berkenalan, begitulah ukhuwah, cukup identitas Islam menjadi syarat persaudaraan.
Selama ini aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisannya dalam program seratus hari, tak kusangka hari ini bertemu senyum nyatanya, bukan emoticon dalam catatan fb. Dia cantik dan manis, perpaduan antara keduanya. Dan yan terpenting bagiku dia begitu ramah.
Sepanjang perjalanan kami mengobrol, tak tahunya stasiun Purwosari cukup jauh dari rumahnya yang kebetulan terletak di Karanganyar. Aku merasa begitu bodoh, seandainya aku bertanya tentu aku bisa lebih memudahkannya, setidaknya aku bisa turun di stasun Jebres yang lebih dekat dari rumahnya. Namun gadis itu berulangkali melepas senyum tulusnya, membuatku merasa lebih nyaman.
Sampailah kami di sebuah jalan dengan gapura bertuliskan perumahan Jos Royo, nama yang sangat Solo dan aku tidak tahu artinya. Tidak jauh dari Gapura selamat datang setelah beberapa tikungan kami sampai di rumahnya. Rumah ini terletak di depan sebuah masjid. Rumah dengan arsitektur modern universal dengan dekorasi perabot yang cenderung tradisional Jawa.
Rumah besar ini nampak begitu sepi saat kami datang. Avi tinggal bersama ibu dan adik laki-lakinya. Ibunya dinas di Kemendiknas Karanganyar biasa pulang kantor menjelang sore, sedang adiknya masih bersekolah di bangku SMA, juga biasa pulang menjelang sore, sementara ayahnya sedang dinas luar kota. Avi sendiri kebetulan sedang libur kuliah, jadi bisa menemaniku di rumah.
Avi memberikan sebuah kamar tamu untuk kutempati. Kamar tamu yang sangat nyaman, tapi entah mengapa aku justru merasa semakin tak enak hati karena terlalu banyak merepotkan gadis ini. Lagi-lagi dia menentramkan pikiranku dengan logatnya yang begitu khas. “Nda papa kok mbak, malah seneng.” Rasanya lebih dari sepuluh kali dia mengucapkan kata itu.
Semakin lama menatap wajah Avi, aku teringat seseorang, sahabatku yang cantik namun lugu, hatiku sampai terpekik setiap kali menatap wajah dan lakunya. Gadis ini mirip sekali dengan sahabatku Ayu! Betul kata Pak Nasirun, tapi yang ini kelewat mirip, sampai aku benar-benar terkesima! Dari wajah sampai gayanya, cara dia tersenyum, suaranya ketika tertawa tertahan, gayanya menutup mulut, atau menggigit bibir. Aku seperti sedang mengalami dejavu, tiba-tiba aku ingin sekali menyandingkan mereka berdua. Ah, Ayu dan Avi, bedanya hanya Avi terlihat lebih dewasa dan tidak lugu seperti Ayu.
Selama aku di Solo aku belajar begitu banyak dari sosok Avi. Terutama adalah pelajaran tentang kerendahan hati. Gadis ini adalah gabungan antara kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Betapa tidak? Di usianya yang muda belia telah mengukir berbagai prestasi, baik dalam bidang akademis maupun bidang yang lain.
Aku sendiri begitu heran, betapa Tuhan telah menciptakan gadis dengan talenta nyaris sempurna.
Kuamati kesehariannya di rumah, Avi menurutku adalah sosok melankolis sempurna, keteraturan, kerapian, kedisiplinan, melekat kuat pada sosok itu. Setelah seharian beraktivitas di luar, Avi masih menyempatkan diri untuk membuka laptopnya dan menyelesaikan proyek-proyek menulisnya hingga larut malam, bahkan lewat tengah malam.
Avi memiliki beberapa proyek menulis. Tidak hanya satu, tak tanggung-tanggung beberapa lomba karya tulis ilmiah sedang diikutinya. Tulisan fiksinya baru saja dimuat di Harian Solopos sehari sebelum aku berkunjung ke rumahnya. Dan kini ia juga tengah mempersiapkan beberapa lomba penulisan cerpen. Avi juga rutin menulis program seratus harinya dengan begitu istiqomah, tiada terputus. Walau aktivitasnya segudang, dia tetap menjalankan komitmennya itu dengan penuh kesungguhan. Betul kata pepatah berikut, “sekali kita menyepelekan tugas, maka akan ada kedua dan seterusnya”.
Keluarga Avi bagiku adalah tempat yang sempurna untuk belajar. Avi dan keluarganya selalu memulai harinya dengan aktivitas beres-beres rumah. Mulai dari menyapu rumah dan halaman, mengepel, juga mencuci baju dan aktivitas harian lainnya. Itu semua dilakukannya dengan penuh senyum dan suasana ceria. Sungguh sebuah potret pembelajaran yang nyata.
Selama dua malam aku disana, selama itu pula harus memendam malu hati, tuan rumah selalu bangun lebih pagi. Hiks..., malu menuliskannya, aku selalu dibangunkan belakangan, dan apapun alasannya aku memang memalukan!
Aku hanya mampu bersyukur kepada Allah, yang telah memberiku kesempatan mengenal Avi dan keluarganya. Betapa sekenario Allah telah membawaku pada sebuah proses pembelajaran dalam sebuah training kehidupan.
Jazakumulloh khoir Avi, biar Allah menentukan derajatmu di surga!

Part 3
Quantum Cinta Bunda
Sore yang benderang di Kota Solo, aku berboncengan dengan Avi melewati jalan yang tak kukenal. Namun hatiku tenang karena Avi nampak begitu lihai mengendarai motor dan terlihat sangat akrab dengan jalanan ini.
Sampai di sebuah perkampungan padat penduduk di satu sudut Kota Solo. Avi bilang daerah ini adalah kampung Arab. Kalau di Purwokerto barangkali daerah kauman lama. Avi nampak ragu saat memasuki gang-gang di perkampungan ini untuk mencari alamat ibu Astuti J. Syahban. Sementara anganku melayang pada wajah itu, wajah yang hanya kulihat lewat foto-fotonya di profil fb. Apakah dia akan sedahsyat katanya? Aku hanya berharap satu kata, iya!
Akhirnya rumah Bu Astuti J. Syahban ada di depan mata, rumah dengan arsitektur tradisional Jawa Islami, menggambarkan kepribadian pemiliknya yang seorang budayawan. Sejenak aku menikmati suasana yang tidak biasa.
Kami datang paling awal. Aku dan Avi memilih untuk duduk di barisan tengah di balik shaf yang berhijab di serambi mushola depan rumah ibu Astuti. Berharap ini tempat paling strategis untuk menyimak kuliah menulis sore ini.
Avi nampak sudah familiar dengan situasi ini, sedang bagiku, tuan rumah masih misteri. Begitupun dengan kawan-kawan Laskar yang hanya kukenal dari catatan maupun statusnya.
Kumpulan misteri itu sore ini akan segera kupecahkan.
Beberapa saat kemudian kawan-kawan Laskar berdatangan. Seperti biasa, anak muda selalu punya cara untuk mengakrabkan diri. Avi menjadi guid yang sempurna memperkenalkan satu demi satu anggota Laskar. Bagiku yang lama tak bertemu manusia dalam dunia nyata, ini mengasyikkan!
Setelah serambi mushola ini dirasa cukup padat, seorang perempuan yang kupikir adalah ibu Astuti J. Syahban menyerahkan sebuah kertas berisi kisi-kisi kuliah sore ini. Kemudian beliau maju ke sebuah sudut yang nampak telah disiapkan untuk memberikan materi. Seorang ibu dengan wajah persis di foto dalam fb, dengan jilbab corak dominan cokelat dan gamis hitam. Nampak santai tanpa basa-basi.
Beliau memulai kuliahnya sore ini.
Well, buat aku yang keseringan ikut training motivasi, awalnya agak merasa “kok begini?” (ini jujur banget lho Bu, hehe...), aku merasa tidak “dahsayat” kok bisa? Ya pertama karena gaya bu Astuti yang sangat natural, materi mengalir begitu saja seperti membaca. Aku merasa, maaf, “kalau begini mah bisa baca sendiri”. (nyuwun ngapunten bu Astuti, ini saya memang perlu diajari tatakrama, tapi memang budaya orang mBanyumas ya begini ini, istilahnya “thok melong”).
Aku mulai merasa ada magnet yang menarik pandanganku untuk fokus ketika beliau mulai menyampaikan soal motivasi beliau mengikuti sebuah lomba. Aku mendadak tersihir aura seorang bunda. Bagiku ini luar biasa!
Bu Astuti cuma ingin dapat juara harapan, demi sebuah laptop untuk putrinya. Tak dinyana pak Joko Syahban justru mendapat juara pertama.
Kelap kelip ruang hatiku, mencoba memaknai sebuah kepasrahan dan keikhlasan, ini dunia yang diatur sehebat-hebat pembuat skenario, aku hanya berucap segala puji bagi Allah.
Quantum cinta seorang bunda adalah harapan tak muluk-muluk atas dirinya, asal terbaik untuk anaknya. Teringat wajah ibuku yang bahagianya menangis, sedihnya juga menangis. Aku melihat ketulusan itu, adalah bahan bakar ruh dalam kata-katanya. Aku terpana dengan sebuah penyadaran, cinta ini menjadikan hari itu kami bertemu.
Coba kalau beliau tidak cinta putrinya? Tidak menulis satupun karya? Tidak akan bertemu diriku? Jiaaaaaaaaah...
Cinta itu, lalu terciptalah tulisan-tulisan bermutu, lalu lahirlah buku-buku itu, lalu meledaklah quantum cinta seorang ibu. Dari lubuk hatinya menjadi manfaat untuk lingkungannya, untuk dunia, termasuk kami yang datang mengais berkah cinta bunda.
Ledakan maha dahsyat ini bukan soal cara penyampaian, tapi rasa itu, ruh yang akan aku kenang dalam setiap langkahku setelah hari itu, seorang bunda tidak pernah menyerah untuk anaknya.

Part 4
Srikandi Penuh Inspirasi dari Jos Royo
Aku memang cah ndeso, tak terbiasa dengan tata krama, tidak terbiasa mengolah bahasa, ditambah aku juga kurang pergaulan. Kini aku berada jauh dari kampungku, dan aku belum bertemu tuan rumah. Kekhawatiran memayungi hatiku sejak awal datang, aku khawatir tak bisa menjadi tamu yang baik.
Siang menjelang sore, sosok itu baru pulang dari kantornya, tuan rumah yang kunanti-nantikan. Seorang perempuan cantik dengan style wanita karir. Kami bertegur sapa seperlunya, namun terpancar kehangatan dari senyuman beliau. Membuatku rasa grogiku sedikit lumer.
Namanya Ibu Nur Halimah, ibunda dari Aviaddina Ramadhani.
Hubungannya begitu erat dengan putra putrinya. Semua terekam dalam keseharian mereka. Barangkali ini yang dimaknai sebagai keluarga yang harmonis, rumah yang penuh ketenangan. Bahasa komunikasi yang tercipta adalah bahasa tanya, bukan perintah. Tak ada teriakkan, tak ada bising pertikaian, tak ada cerita menyedihkan. Tanggungjawab yang terbentuk adalah keteladanan, dan bukan paksaan. Semua dikerjakan bersama, kerjasama dan saling membantu. Kasih sayang yang terjalin adalah perhatian, bukan kekhawatiran. Satu sama lain berusaha memahami tidak menghakimi. Setidaknya itu yang aku rasakan selama menginap di rumah ibu Nur Halimah.
Sungguh aku tidak sedang melebih-lebihkan hal ini. Tapi begitulah adanya yang terekam dalam benakku. Satu tanya yang terus membuncah dalam hatiku, seorang ibu dengan aktivitas yang super padat, dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang berat sebagai seorang pejabat publik, tapi mampu mengepakkan sayapnya sempurna, ke dalam dan keluar. Aku tak henti bertanya, bagaimana caranya?
Sampai pada sebuah kesempatan yang berharga, pagi itu di hari Minggu, aku mendapat kesempatan berbincang santai dengan beliau. Awalnya curhat biasa, hehehe, namanya juga anak muda (what?). Obrolan santai sampai obrolan yang semi serius dan perlu diseriusi (halah...).
Aku mulai mengorek lebih dalam soal “bagaimana caranya” itu tadi. Kini benang-benang itu mulai terjalin menjadi satu kain utuh. Beliau tidak hidup dengan cara standar, tapi memilih ekstraordinary. Betapa tidak? Jika orang lain jarang yang merelakan waktu istirahatnya untuk bekerja keras, itulah yang beliau lakukan. Sejak menjadi mahasiswa, menjadi aktivis organisasi justru membuat beliau tidak bersantai-santai dalam belajar. Semakin sibuk, semakin hati-hati menggunakan waktu.
Rumus berikutnya adalah tanggungjawab. Tanggungjawab itu bukan beban atau pengorbanan, tapi muncul dari sebuah kesadaran. Seperti halnya ketika beliau harus bahu membahu dengan orang tua untuk membiyai sekolah adiknya. Tidak semua orang dihadapkan pada situasi harus bertanggungjawab seperti demikian, atau tidak semua orang bisa menganggapnya sebagai sebuah tanggungjawab, seringkali bahkan merasa terbebani. Kekuatan itulah yang kemudian menuntun beliau untuk menjadi perempuan tangguh dan tidak cengeng.
Rumus yang berhasil kutemukan lagi adalah birrulwalidain. Ini menarik, terkadang keinginan orang tua terhadap seorang anak terkesan membatasi potensi anak. Waktu itu beliau tengah berada kalau boleh saya bilang, di puncak karir, sebuah kemapanan yang memperolehnya pun bukan tanpa perjuangan. Namun ketika orang tua kemudian menyampaikan keinginannya terhadap beliau, untuk menjadi abdi negara, maka beliau memantapkan hati untuk menjalani segala prosesnya.
Lalu jalan itu dibuka satu persatu oleh Alloh. Hal yang nampak seperti menuju sebuah titik terendah dari sebuah pencapaian, tapi justru titik itu yang mengantarkan pada puncak-puncak prestasi berikutnya. Yeah, birrulwalidain, titah orang tua adalah ridho Illahi.
Rumus berikutnya yang mampu kutangkap adalah rumus kerendahan hati. Berulangkali mulutku mengungkap fakta, beliau selalu menepisnya, padahal itu semua nyata adanya. Tidak terpancar sorot kesombongan secuilpun dari pandangannya, justru yang aku lihat adalah sebuah penerimaan, membuatku merasa nyaman. Mendengarkan curhatku, memberikan solusi dan nasehat, tanpa harus menggurui.
Rumus-rumus itu mengalir begitu saja dalam obrolan kami, dan menurutku rumus yang tentunya menjadi kunci dari rumus yang lain adalah rumus kedekatan dengan Yang Maha Kuasa. Ibu Nur Halimah sudah terbiasa sholat malam sejak masih muda. Wajar saja jika kemudian perkataannya menjelma menjadi qaulan tsakila, perkataan yang berbobot.
Satu quotes yang tak bisa kulupakan, “Perempuan adalah problem solver!”, gagasan beliau ini adalah inspirasi paling menarik yang menjadi puncak kekagumanku.  Barangkali bisa dikembangkan menjadi sebuah buku. Betapa luas pandangan perempuan dihadapanku terhadap kaumnya. Sebuah keprihatinan atas kondisi perempuan yang seringkali terpuruk pada kenyataan hidup, tak bisa menolong dirinya sendiri.
Pernah dalam sebuah acara hari Kartini, beliau menggagas sebuah lomba perempuan mengganti ban mobil, tentu ini sangat menarik. “Perempuan harus bisa menolong dirinya sendiri, tak boleh mati kutu dalam situasi seperti ini.”, paparnya pada para wartawan.
Pandangannya terhadap potensi perempuan sangat berani!
Bagi ibu Nur halimah, tidak ada gender dalam pekerjaan, yang ada adalah kemauan untuk melaksanakannya atau tidak. Sejenak aku mencerna kalimat ini, bagaimana mungkin? Tapi tokh keyataannya memang demikian. Seringkali perempuan dihadapkan pada situasi paling kritis dalam kehidupan. Menjadi tumpuan atau terkadang bahkan menjadi korban.
Berbincang dengan beliau bagaikan menikmati sebuah buku ensiklopedi yang terbuka lebar. Luas dan mendalam. Tapi juga bagai menikmati nada-nada poprock yang menghentak penuh semangat. Kabel-kabel koneksi dalam otakku seperti mendapat suntikan energi baru, terhubung satu sama lain, sensor intuisiku bekerja optimal setelah online dengan processor kelas i7 seri intel terbaru. (jiahhh... aku terpesona berjilid-jilid...)
Tiada kata yang lebih pantas aku ucapkan selain, jazakumullah khairon Ibu Nur Halimah, semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan bagi Ibu sekeluarga.
Dan menurutku, teman-teman Laskar Kang Nass wajib sowan ke tempat beliau, menimba ilmu dari seorang Srikandi, (sukur-sukur buka bareng jilid berikutnya), sebelum beliau jadi Bupati Karanganyar! Ini serius kawan, tidak main-main sama sekali!



           


Part 5
Satu Sore di Telaga Langit
Suaranya yang menggelegar dan kutukan biji kacang hijau, kata itu selalu yang kuingat dari cerita para laskar di fb, membuat imajinasiku melayang pada sosok angker mirip catatan Mas Fuad Hasan, atau bahkan lebih mengerikan.
Ketakutanku ini bukan tak beralasan kawan!
Pertama aku hanya mendengar cerita tentang wibawanya yang mengalahkan Rahwana murka, kedua aku memang merasakan logat langit dalam kata-katanya, ketiga aku merasa terlalu kecil untuk berguru padanya. Lengkap sudah rasa takutku pada sosok Langit Kresna Hariadi. Tuh kan? Nama beliau saja sudah membuat badanku bergetar.
Sejak pagi aku hanya mampu bersenandung lirih,
Diatasnya langit, masih ada langit...
(sambil bertanya, kalo pak langit langit keberapa ya?)
Tak usah terlalu takut, jangan biarkan ketakutanmu mengalahkan rasa ingin tahumu, jangan biarkan suara petirnya menciutkan nyalimu, jangan biarkan kritik pedasnya, membuyarkan asamu, jangan biarkan persepsimu tentang beliau, membentengi dirimu dari sumber ilmu.
Hari ini pertemuan pertamaku dengan Suhu Langit Kresna Hariadi. Sosok yang begitu terkenal itu. Aku harus berani!
Seperti biasa aku membonceng Avi kemanapun kupergi. Kebetulan rumah pak Langit tidak jauh dari rumah Avi. Dan seperti biasa, anggota laskar yang lain belum kelihatan. Apa Avi selalu begitu di Laskar? Datang paling awal? Hehehe...
 Dari jauh pak Langit sudah menyapa kami, malah kebalik, beliau duluan yang mengucap salam. Sosok tinggi besar dengan penampilan casual, jauh dari bayanganku tentang beliau. Senyumnya mengembang, dan suaranya memang menggelegar, tapi jauh dari menyeramkan, malah justru aku menangkap nada keramahan. Sedikit lega, tidak setakut sebelumnya.
Kami memasuki rumah beliau yang nampak sudah disiapkan khusus untuk pertemuan hari ini. Sebuah laptop dengan cover keemasan tergeletak di atas meja. Laptop seorang sastrawan hebat, dari warnanya saja sudah terasa beda.
Kami berbincang sejenak, ceritanya tentang putrinya mengalir, tersirat kebanggaan sebagai seorang ayah. Dan senyumnya sesekali mengembang menepis semua bayanganku tentang sosok Rahwana (hehehe, maafkan daku Suhu). Lebih mirip seorang Kresna, seperti nama tengahnya. (semoga tidak ada yang ge-er).
Aku lebih terhenyak lagi, ketika sebuah gerobak sampah melintas di depan rumah pak Langit, beliau memanggil si abang tukang sampah, sebuah sarung biru kotak-kotak menjadi hadiah lebaran yang tentu sangat berarti bagi abang tukang sampah tadi. Itukah sosok yang menakutkan? Aku tersenyum menyadari aku sudah terlalu keliru. Ini memang Kresna kok, dan kita-kita ini, apa ya memang sapi gembalaannya? Hihihihi...
Sebuah sms masuk ke Hp Avi, memberi kabar, sebagian anggota laskar datang belakangan, ada berita lelayu dari seorang kawan. Pak Langit memutuskan tidak membuang waktu, karyaku dibahas terlebih dahulu. Hatiku kembali ciut, sadar betul banyak sekali kekurangan disana sini.
Aku terpesona, pada cara beliau membaca, aku sampai pangkling dengan karyaku sendiri, ini nyata atau mimpi belaka, karyaku dibaca seorang sastrawan, diperbaiki disana-sini, dan yang paling menyenangkan aku mendapat pelajaran baru soal struktur, dimana aku memang buta huruf sama sekali soal itu. Aduh pak, aku kok ya jadi pengen nangis, terbayang bapakku yang jangankan membaca, mendengarkan aku membacakan satu karya saja mungkin hanya ujungnya, karena keburu terlelap (piss Abah piss...).
Teman-teman mulai berdatangan, kini aku bisa melihat jelas wajah-wajah anak laskar. Semua nampak antusias menyimak satu demi satu karya yang dibacakan. Kami terhanyut dalam parade cerpen di padepokan sastra Langit Kresna Hariadi, beliau membacakan cerpen kami dengan nada bariton yang harmonis.
Dalam hati mengalir rasa takjub, bukan hanya pada kemampuan beliau berolah sastra, tapi justru pada telaga kesabarannya dalam menghadapi kami. Secara detail membahas karya kami yang “bukan siapa-siapa”. Tak terbayang kekuatan semangatnya, padahal dalam kondisi puasa, tapi semua karya itu dibaca masih dengan nada bariton yang menggelegar. Beliau membacakannya dengan minat yang tidak berubah, tetap konsisten, begitu detail dan teliti. Satu persatu karya dibedah, wajah itu nampak lelah, tapi tidak juga mengurangi kepekaannya terhadap struktur karya kami.
Aku harus mengakui, pak Langit memang manusia langka! Ini bukan soal struktur pak, sungguh! Ini soal pelajaran moral dan budi pekerti. Kami datang untuk berguru pada seorang pakar, hanya bermodal baju yang kami pakai, membebaninya dengan pertaruhan nama besar, masih pula diberi semangat.  Bahkan sudah seperti itupun beliau masih membuka peluang bagi yang karyanya belum dibahas, dan sudah begitu kami masih harus menikmati jamuan buka puasa yang sangat istimewa.
Takkan terlupa, aneka suguhan luar biasa, terlebih makan pepes ikan yang tiada tanding rasanya, ditambah bumbu rahasia, ketulusan dan rasa lapar, wuih, gurihnya nendang sampai salto. Rasa memang tak bisa bohong!
Pak Langit, terimaksih, sejujurnya semangatmu adalah motivasi kami untuk berkarya, bukan hanya untuk lomba Solopos. Pak, insyaAllah, kami para murid akan terus memompa diri. Kami akan terus berkarya Pak! Sepanjang hayat kami Kami janji, kami tidak akan menyiakan ketulusanmu mengajari kami Suhu.
Suatu saat akan ada satu anak Laskar, dua anak Laskar, tiga anak Laskar, dan banyak anak Laskar, menjadi penulis buku-buku bermutu. InsyaAlloh.
Jazakumulloh khoir Suhu!
(Ied ide I did)

Jumat, 23 September 2011

Gombal Jelang Malam




"Amah sayang nggak sama mas Taqy?"

"Sayang banget..."
"Sayangnya sedikit apa banyak?"
"Mas Taqy punya rambut? Nah, sayangnya Amah sebanyak rambutnya mas Taqy."
"Mas Taqy sayang sama Amah?"
"Sayang"
"Sebanyak apa?"
"Sebanyak kuman di giginya mas Taqy."
(hahahaha... kalo gitu kamu nggak usah gosok gigi)

(Ied ide I did)