Part
1
Menimbang
Bimbang
Sudah
seminggu aku gelisah, harapku tak tentu arah. Meski mungkin bagi sebagian orang
adalah perkara sepele. Tapi bagiku ini sesuatu yang penting, bukan karena aku
tahu detail perkaranya, tapi ini sekedar soal rasa. Aku merasa ingin berada di
Solo, 13 Ramadhan nanti.
Kutatap
lekat wajah tanpa daya itu di atas tempat tidurnya. Hatiku menimbang berbagai
rasa, antara keinginan dan rasa takut. Keinginanku sendiri untuk menemukan
kepingan harapan dan ketakutanku meninggalkan sosok di hadapanku. Sekian lama
aku terpaku pada masalah ini. Sampai akhirnya kuputuskan waktu yang
menjawabnya.
Malam
makin larut, saat sebuah kalimat singkat membantuku memutuskan gundah sekian
hari. Sms dari lelaki nomor satu, “sangune
kurang ora?”, sms bapakku.
Aku
tersenyum penuh kelegaan, itu artinya ridhonya sudah kukantongi. Kini persoalan
selanjutnya hanya soal siapa yang akan menjaga perempuan berharga di hadapanku
ini? Lagi-lagi hatiku ragu, benarkah apa yang sedang kulakukan? Aku merasa
egoku terlalu mengambil spekulasi. Aku bahkan tak tahu siapa yang hendak
kutemui? Apa yang akan kuperoleh di sana nanti? Tapi hati kecilku terus
mengatakan pergi.
Kutatap
sekali lagi perempuan di hadapanku, wajah tuanya menyiratkan ujian hidup tiada
henti, aku tahu itu, aku tahu persis kisah hidupnya, lebih mirip seorang ahlul
bala’. Aku menghela nafas panjang, mencoba mengingat ganjaran seorang ahlul
bala, insyaAlloh surga! Aku kembali menghela nafas, lega.
Sebuah
sms kembali masuk, “Besok yang jagain
budhe Mbok Mar, kamu jadi ke Solo kan?”, sms mbakyuku. Inikah jalan keluar
itu?
Pagi
yang dingin di tengah bulan saat musim pancaroba, aku dan mbakyuku menembus
kabut menuju stasiun KA Purwokerto. Hatiku masih ragu, jika kereta belum
membawaku pergi, ada kemungkinan aku tidak akan kemana-mana.
Biar
semua berjalan apa adanya, tak ada harap atau sesal kemudian.
Tiket
telah dibeli, kakiku melangkah menaiki gerbong 5 kereta Logawa, dan kakak
perempuanku satu-satunya tersenyum melambaikan tangannya, “Aja kelalen bali!”
candanya sambil bergegas meninggalkan peron.
Hatiku
seringan kapas, setengah tertawa geli, aku memang seringkali keras kepala
terhadap keinginanku sendiri, merepotkan banyak orang dan tidak pandai menahan
diri. Bahkan untuk sesuatu yang aku belum tahu pasti!
Bismillahirrahmannirrahim. Allahu akbar.
Subhanallazi sakhkharalana haza wa ma kunna lahu muqrinin. Wainna ila rabbina
lamunqalibin. Allahumma inna nas’aluka fi safarina hazal-birra wat-taqwa wa
minal-’amali ma tarda. Allahumma hawwin ‘alaina safarana haza wa atwi ‘anna
bu’dah. Allahumma antas-sahibu fis-safari wal-khalifatu fil-ahli. Allahumma
inni a’uzu bika min wa’sa’is-safari wa ka’abatil-manzari wa su’il-munqalabi
fil-mali wal-ahli wal-walad.
Dengan
menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, Allah Maha Besar,
maha suci Allah tang telah menggerakkan untuk kami kendaraan ini padahal kami
tiada kusa menggerakkannya. Dan sesungguhnya kami pasti kepada Tuhan, kami
pasti akan kembali. Ya Allah kami memohon kepadamu dalam perjalanan kami ini
kebaikkan dan taqwa serta amal perbuatan yang Kau ridhai.
Lirih
hatiku menjelma doa-doa...
Logawa
berderit menjauh dari stasiun, gerakannya kian cepat seiring gaduh suara-suara
yang ditimbulkannya. Angin pagi menyerangku dari segala penjuru, membuat mataku
bergerak mengikuti gravitasi, sampai aku teringat aku belum menyelesaikan
cerpenku, lima jam untuk sebuah karya lomba? Nekat yang kebangetan, tapi lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Sepanjang
jalan aku menguasai kursi, perjalanan luar biasa nyaman dengan kereta ekonomi.
Aku sedang menuju Solo, tidak mimpi.
Part
2
Senyum
Nyatanya
Jam
11 siang Kereta Logawa memasuki Stasiun Purwosari. Para penumpang tujuan Kota
Solo sebagian turun disini. Termasuk aku yang bergegas melompat dari kereta
Logawa, mengucap syukur dalam hati. Solo setelah bertahun lalu. This is where I’m coming!
Aku
menyusuri koridor stasiun, mencari papan bertuliskan exit atau keluar. Masih
tak percaya aku sudah di solo. Beberapa tukang ojeg dan supir taksi menawarkan
jasanya. Aku hanya menggeleng sambil mengamati situasi. Kulihat sebuah bangku
di depan POS POLISI di sudut stasiun, kuputuskan untuk menunggu seorang kawan
yang akan menjemputku di bangku itu.
Gadis
yang kukenal dari Laskar Kang Nass, Avi Ramadhani, gadis yang selalu membuatku
kagum dengan konsistensinya menulis program PSH, sementara aku sendiri sudah
gugur di pekan pertama. Aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya. Apakah dia
dari arah barat atau timur? Sedang aku sendiri tak tahu mana barat dan timur.
Aku tersenyum membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi, jika sampai aku tidak
mengenalinya atau dia tidak mengenaliku, dan aku telah bersiap menggelandang di
kota Solo, petualangan baru.
Sambil
menunggu kuamati kendaraan yang berlalu lalang di depanku. Sebuah bus biru
dengan hiasan motif batik yang begitu mempesona, bertuliskan Batik Solo Trans.
Aku tersenyum, tapi buru-buru menormalkan wajahku, takut dikira orang gila.
Seandainya ada kesempatan suatu hari aku akan naik bus itu, sambil mengenang
pengalaman pertamaku yang begitu norak saat naik busway.
Kuamati
satu persatu kendaraan yang lewat, perhatianku lebih fokus ketika ada motor
yang dikendarai perempuan berjilbab. Apakah itu dia? Gadis yang familiar dengan
panggilan Avi?
Tak
lama berselang, sebuah sepeda motor berhenti di depan pos polisi, seorang gadis
dengan stelan biru muda dan jaket bertuliskan Laskar Kang Nass tersenyum padaku
dan aku pun tersenyum padanya, ini pastilah Avi Ramadhani. Kami saling
bersalaman seperti kawan yang lama tak berjumpa, padahal baru saja kami
berkenalan, begitulah ukhuwah, cukup identitas Islam menjadi syarat
persaudaraan.
Selama
ini aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisannya dalam program seratus hari,
tak kusangka hari ini bertemu senyum nyatanya, bukan emoticon dalam catatan fb.
Dia cantik dan manis, perpaduan antara keduanya. Dan yan terpenting bagiku dia
begitu ramah.
Sepanjang
perjalanan kami mengobrol, tak tahunya stasiun Purwosari cukup jauh dari
rumahnya yang kebetulan terletak di Karanganyar. Aku merasa begitu bodoh,
seandainya aku bertanya tentu aku bisa lebih memudahkannya, setidaknya aku bisa
turun di stasun Jebres yang lebih dekat dari rumahnya. Namun gadis itu
berulangkali melepas senyum tulusnya, membuatku merasa lebih nyaman.
Sampailah
kami di sebuah jalan dengan gapura bertuliskan perumahan Jos Royo, nama yang
sangat Solo dan aku tidak tahu artinya. Tidak jauh dari Gapura selamat datang
setelah beberapa tikungan kami sampai di rumahnya. Rumah ini terletak di depan
sebuah masjid. Rumah dengan arsitektur modern universal dengan dekorasi perabot
yang cenderung tradisional Jawa.
Rumah
besar ini nampak begitu sepi saat kami datang. Avi tinggal bersama ibu dan adik
laki-lakinya. Ibunya dinas di Kemendiknas Karanganyar biasa pulang kantor
menjelang sore, sedang adiknya masih bersekolah di bangku SMA, juga biasa
pulang menjelang sore, sementara ayahnya sedang dinas luar kota. Avi sendiri
kebetulan sedang libur kuliah, jadi bisa menemaniku di rumah.
Avi
memberikan sebuah kamar tamu untuk kutempati. Kamar tamu yang sangat nyaman,
tapi entah mengapa aku justru merasa semakin tak enak hati karena terlalu
banyak merepotkan gadis ini. Lagi-lagi dia menentramkan pikiranku dengan
logatnya yang begitu khas. “Nda papa kok mbak, malah seneng.” Rasanya lebih
dari sepuluh kali dia mengucapkan kata itu.
Semakin
lama menatap wajah Avi, aku teringat seseorang, sahabatku yang cantik namun
lugu, hatiku sampai terpekik setiap kali menatap wajah dan lakunya. Gadis ini
mirip sekali dengan sahabatku Ayu! Betul kata Pak Nasirun, tapi yang ini
kelewat mirip, sampai aku benar-benar terkesima! Dari wajah sampai gayanya,
cara dia tersenyum, suaranya ketika tertawa tertahan, gayanya menutup mulut,
atau menggigit bibir. Aku seperti sedang mengalami dejavu, tiba-tiba aku ingin
sekali menyandingkan mereka berdua. Ah, Ayu dan Avi, bedanya hanya Avi terlihat
lebih dewasa dan tidak lugu seperti Ayu.
Selama
aku di Solo aku belajar begitu banyak dari sosok Avi. Terutama adalah pelajaran
tentang kerendahan hati. Gadis ini adalah gabungan antara kecerdasan
intelektual, emosional dan spiritual. Betapa tidak? Di usianya yang muda belia
telah mengukir berbagai prestasi, baik dalam bidang akademis maupun bidang yang
lain.
Aku
sendiri begitu heran, betapa Tuhan telah menciptakan gadis dengan talenta
nyaris sempurna.
Kuamati
kesehariannya di rumah, Avi menurutku adalah sosok melankolis sempurna,
keteraturan, kerapian, kedisiplinan, melekat kuat pada sosok itu. Setelah
seharian beraktivitas di luar, Avi masih menyempatkan diri untuk membuka
laptopnya dan menyelesaikan proyek-proyek menulisnya hingga larut malam, bahkan
lewat tengah malam.
Avi
memiliki beberapa proyek menulis. Tidak hanya satu, tak tanggung-tanggung
beberapa lomba karya tulis ilmiah sedang diikutinya. Tulisan fiksinya baru saja
dimuat di Harian Solopos sehari sebelum aku berkunjung ke rumahnya. Dan kini ia
juga tengah mempersiapkan beberapa lomba penulisan cerpen. Avi juga rutin
menulis program seratus harinya dengan begitu istiqomah, tiada terputus. Walau
aktivitasnya segudang, dia tetap menjalankan komitmennya itu dengan penuh
kesungguhan. Betul kata pepatah berikut, “sekali
kita menyepelekan tugas, maka akan ada kedua dan seterusnya”.
Keluarga
Avi bagiku adalah tempat yang sempurna untuk belajar. Avi dan keluarganya
selalu memulai harinya dengan aktivitas beres-beres rumah. Mulai dari menyapu
rumah dan halaman, mengepel, juga mencuci baju dan aktivitas harian lainnya.
Itu semua dilakukannya dengan penuh senyum dan suasana ceria. Sungguh sebuah
potret pembelajaran yang nyata.
Selama
dua malam aku disana, selama itu pula harus memendam malu hati, tuan rumah
selalu bangun lebih pagi. Hiks..., malu menuliskannya, aku selalu dibangunkan
belakangan, dan apapun alasannya aku memang memalukan!
Aku
hanya mampu bersyukur kepada Allah, yang telah memberiku kesempatan mengenal
Avi dan keluarganya. Betapa sekenario Allah telah membawaku pada sebuah proses
pembelajaran dalam sebuah training kehidupan.
Jazakumulloh
khoir Avi, biar Allah menentukan derajatmu di surga!
Part 3
Quantum Cinta Bunda
Sore
yang benderang di Kota Solo, aku berboncengan dengan Avi melewati jalan yang
tak kukenal. Namun hatiku tenang karena Avi nampak begitu lihai mengendarai
motor dan terlihat sangat akrab dengan jalanan ini.
Sampai
di sebuah perkampungan padat penduduk di satu sudut Kota Solo. Avi bilang
daerah ini adalah kampung Arab. Kalau di Purwokerto barangkali daerah kauman
lama. Avi nampak ragu saat memasuki gang-gang di perkampungan ini untuk mencari
alamat ibu Astuti J. Syahban. Sementara anganku melayang pada wajah itu, wajah
yang hanya kulihat lewat foto-fotonya di profil fb. Apakah dia akan sedahsyat
katanya? Aku hanya berharap satu kata, iya!
Akhirnya
rumah Bu Astuti J. Syahban ada di depan mata, rumah dengan arsitektur
tradisional Jawa Islami, menggambarkan kepribadian pemiliknya yang seorang
budayawan. Sejenak aku menikmati suasana yang tidak biasa.
Kami
datang paling awal. Aku dan Avi memilih untuk duduk di barisan tengah di balik
shaf yang berhijab di serambi mushola depan rumah ibu Astuti. Berharap ini
tempat paling strategis untuk menyimak kuliah menulis sore ini.
Avi
nampak sudah familiar dengan situasi ini, sedang bagiku, tuan rumah masih
misteri. Begitupun dengan kawan-kawan Laskar yang hanya kukenal dari catatan
maupun statusnya.
Kumpulan
misteri itu sore ini akan segera kupecahkan.
Beberapa
saat kemudian kawan-kawan Laskar berdatangan. Seperti biasa, anak muda selalu
punya cara untuk mengakrabkan diri. Avi menjadi guid yang sempurna
memperkenalkan satu demi satu anggota Laskar. Bagiku yang lama tak bertemu
manusia dalam dunia nyata, ini mengasyikkan!
Setelah
serambi mushola ini dirasa cukup padat, seorang perempuan yang kupikir adalah
ibu Astuti J. Syahban menyerahkan sebuah kertas berisi kisi-kisi kuliah sore
ini. Kemudian beliau maju ke sebuah sudut yang nampak telah disiapkan untuk
memberikan materi. Seorang ibu dengan wajah persis di foto dalam fb, dengan
jilbab corak dominan cokelat dan gamis hitam. Nampak santai tanpa basa-basi.
Beliau
memulai kuliahnya sore ini.
Well,
buat aku yang keseringan ikut training motivasi, awalnya agak merasa “kok begini?” (ini jujur banget lho Bu,
hehe...), aku merasa tidak “dahsayat”
kok bisa? Ya pertama karena gaya bu Astuti yang sangat natural, materi mengalir
begitu saja seperti membaca. Aku merasa, maaf, “kalau begini mah bisa baca sendiri”. (nyuwun ngapunten bu Astuti,
ini saya memang perlu diajari tatakrama, tapi memang budaya orang mBanyumas ya
begini ini, istilahnya “thok melong”).
Aku
mulai merasa ada magnet yang menarik pandanganku untuk fokus ketika beliau
mulai menyampaikan soal motivasi beliau mengikuti sebuah lomba. Aku mendadak
tersihir aura seorang bunda. Bagiku ini luar biasa!
Bu
Astuti cuma ingin dapat juara harapan, demi sebuah laptop untuk putrinya. Tak
dinyana pak Joko Syahban justru mendapat juara pertama.
Kelap
kelip ruang hatiku, mencoba memaknai sebuah kepasrahan dan keikhlasan, ini
dunia yang diatur sehebat-hebat pembuat skenario, aku hanya berucap segala puji
bagi Allah.
Quantum
cinta seorang bunda adalah harapan tak muluk-muluk atas dirinya, asal terbaik
untuk anaknya. Teringat wajah ibuku yang bahagianya menangis, sedihnya juga
menangis. Aku melihat ketulusan itu, adalah bahan bakar ruh dalam kata-katanya.
Aku terpana dengan sebuah penyadaran, cinta ini menjadikan hari itu kami
bertemu.
Coba
kalau beliau tidak cinta putrinya? Tidak menulis satupun karya? Tidak akan
bertemu diriku? Jiaaaaaaaaah...
Cinta
itu, lalu terciptalah tulisan-tulisan bermutu, lalu lahirlah buku-buku itu,
lalu meledaklah quantum cinta seorang ibu. Dari lubuk hatinya menjadi manfaat
untuk lingkungannya, untuk dunia, termasuk kami yang datang mengais berkah
cinta bunda.
Ledakan
maha dahsyat ini bukan soal cara penyampaian, tapi rasa itu, ruh yang akan aku
kenang dalam setiap langkahku setelah hari itu, seorang bunda tidak pernah
menyerah untuk anaknya.
Part 4
Srikandi Penuh Inspirasi dari Jos
Royo
Aku
memang cah ndeso, tak terbiasa dengan tata krama, tidak terbiasa mengolah
bahasa, ditambah aku juga kurang pergaulan. Kini aku berada jauh dari
kampungku, dan aku belum bertemu tuan rumah. Kekhawatiran memayungi hatiku
sejak awal datang, aku khawatir tak bisa menjadi tamu yang baik.
Siang
menjelang sore, sosok itu baru pulang dari kantornya, tuan rumah yang
kunanti-nantikan. Seorang perempuan cantik dengan style wanita karir. Kami
bertegur sapa seperlunya, namun terpancar kehangatan dari senyuman beliau.
Membuatku rasa grogiku sedikit lumer.
Namanya
Ibu Nur Halimah, ibunda dari Aviaddina Ramadhani.
Hubungannya
begitu erat dengan putra putrinya. Semua terekam dalam keseharian mereka.
Barangkali ini yang dimaknai sebagai keluarga yang harmonis, rumah yang penuh
ketenangan. Bahasa komunikasi yang tercipta adalah bahasa tanya, bukan
perintah. Tak ada teriakkan, tak ada bising pertikaian, tak ada cerita
menyedihkan. Tanggungjawab yang terbentuk adalah keteladanan, dan bukan
paksaan. Semua dikerjakan bersama, kerjasama dan saling membantu. Kasih sayang
yang terjalin adalah perhatian, bukan kekhawatiran. Satu sama lain berusaha
memahami tidak menghakimi. Setidaknya itu yang aku rasakan selama menginap di
rumah ibu Nur Halimah.
Sungguh
aku tidak sedang melebih-lebihkan hal ini. Tapi begitulah adanya yang terekam
dalam benakku. Satu tanya yang terus membuncah dalam hatiku, seorang ibu dengan
aktivitas yang super padat, dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang berat
sebagai seorang pejabat publik, tapi mampu mengepakkan sayapnya sempurna, ke
dalam dan keluar. Aku tak henti bertanya, bagaimana caranya?
Sampai
pada sebuah kesempatan yang berharga, pagi itu di hari Minggu, aku mendapat
kesempatan berbincang santai dengan beliau. Awalnya curhat biasa, hehehe,
namanya juga anak muda (what?). Obrolan santai sampai obrolan yang semi serius
dan perlu diseriusi (halah...).
Aku
mulai mengorek lebih dalam soal “bagaimana caranya” itu tadi. Kini
benang-benang itu mulai terjalin menjadi satu kain utuh. Beliau tidak hidup
dengan cara standar, tapi memilih ekstraordinary. Betapa tidak? Jika orang lain
jarang yang merelakan waktu istirahatnya untuk bekerja keras, itulah yang
beliau lakukan. Sejak menjadi mahasiswa, menjadi aktivis organisasi justru
membuat beliau tidak bersantai-santai dalam belajar. Semakin sibuk, semakin
hati-hati menggunakan waktu.
Rumus
berikutnya adalah tanggungjawab. Tanggungjawab itu bukan beban atau
pengorbanan, tapi muncul dari sebuah kesadaran. Seperti halnya ketika beliau
harus bahu membahu dengan orang tua untuk membiyai sekolah adiknya. Tidak semua
orang dihadapkan pada situasi harus bertanggungjawab seperti demikian, atau
tidak semua orang bisa menganggapnya sebagai sebuah tanggungjawab, seringkali
bahkan merasa terbebani. Kekuatan itulah yang kemudian menuntun beliau untuk
menjadi perempuan tangguh dan tidak cengeng.
Rumus
yang berhasil kutemukan lagi adalah birrulwalidain. Ini menarik, terkadang
keinginan orang tua terhadap seorang anak terkesan membatasi potensi anak.
Waktu itu beliau tengah berada kalau boleh saya bilang, di puncak karir, sebuah
kemapanan yang memperolehnya pun bukan tanpa perjuangan. Namun ketika orang tua
kemudian menyampaikan keinginannya terhadap beliau, untuk menjadi abdi negara,
maka beliau memantapkan hati untuk menjalani segala prosesnya.
Lalu
jalan itu dibuka satu persatu oleh Alloh. Hal yang nampak seperti menuju sebuah
titik terendah dari sebuah pencapaian, tapi justru titik itu yang mengantarkan
pada puncak-puncak prestasi berikutnya. Yeah, birrulwalidain, titah orang tua
adalah ridho Illahi.
Rumus
berikutnya yang mampu kutangkap adalah rumus kerendahan hati. Berulangkali
mulutku mengungkap fakta, beliau selalu menepisnya, padahal itu semua nyata
adanya. Tidak terpancar sorot kesombongan secuilpun dari pandangannya, justru
yang aku lihat adalah sebuah penerimaan, membuatku merasa nyaman. Mendengarkan
curhatku, memberikan solusi dan nasehat, tanpa harus menggurui.
Rumus-rumus
itu mengalir begitu saja dalam obrolan kami, dan menurutku rumus yang tentunya
menjadi kunci dari rumus yang lain adalah rumus kedekatan dengan Yang Maha
Kuasa. Ibu Nur Halimah sudah terbiasa sholat malam sejak masih muda. Wajar saja
jika kemudian perkataannya menjelma menjadi qaulan tsakila, perkataan yang
berbobot.
Satu
quotes yang tak bisa kulupakan, “Perempuan adalah problem solver!”, gagasan
beliau ini adalah inspirasi paling menarik yang menjadi puncak
kekagumanku. Barangkali bisa
dikembangkan menjadi sebuah buku. Betapa luas pandangan perempuan dihadapanku
terhadap kaumnya. Sebuah keprihatinan atas kondisi perempuan yang seringkali
terpuruk pada kenyataan hidup, tak bisa menolong dirinya sendiri.
Pernah
dalam sebuah acara hari Kartini, beliau menggagas sebuah lomba perempuan
mengganti ban mobil, tentu ini sangat menarik. “Perempuan harus bisa menolong
dirinya sendiri, tak boleh mati kutu dalam situasi seperti ini.”, paparnya pada
para wartawan.
Pandangannya
terhadap potensi perempuan sangat berani!
Bagi
ibu Nur halimah, tidak ada gender dalam pekerjaan, yang ada adalah kemauan
untuk melaksanakannya atau tidak. Sejenak aku mencerna kalimat ini, bagaimana
mungkin? Tapi tokh keyataannya memang demikian. Seringkali perempuan dihadapkan
pada situasi paling kritis dalam kehidupan. Menjadi tumpuan atau terkadang
bahkan menjadi korban.
Berbincang
dengan beliau bagaikan menikmati sebuah buku ensiklopedi yang terbuka lebar.
Luas dan mendalam. Tapi juga bagai menikmati nada-nada poprock yang menghentak
penuh semangat. Kabel-kabel koneksi dalam otakku seperti mendapat suntikan
energi baru, terhubung satu sama lain, sensor intuisiku bekerja optimal setelah
online dengan processor kelas i7 seri intel terbaru. (jiahhh... aku terpesona
berjilid-jilid...)
Tiada
kata yang lebih pantas aku ucapkan selain, jazakumullah khairon Ibu Nur
Halimah, semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan bagi Ibu sekeluarga.
Dan
menurutku, teman-teman Laskar Kang Nass wajib sowan ke tempat beliau, menimba
ilmu dari seorang Srikandi, (sukur-sukur buka bareng jilid berikutnya), sebelum
beliau jadi Bupati Karanganyar! Ini serius kawan, tidak main-main sama sekali!
Part 5
Satu Sore di Telaga Langit
Suaranya
yang menggelegar dan kutukan biji kacang hijau, kata itu selalu yang kuingat
dari cerita para laskar di fb, membuat imajinasiku melayang pada sosok angker
mirip catatan Mas Fuad Hasan, atau bahkan lebih mengerikan.
Ketakutanku
ini bukan tak beralasan kawan!
Pertama
aku hanya mendengar cerita tentang wibawanya yang mengalahkan Rahwana murka,
kedua aku memang merasakan logat langit dalam kata-katanya, ketiga aku merasa
terlalu kecil untuk berguru padanya. Lengkap sudah rasa takutku pada sosok
Langit Kresna Hariadi. Tuh kan? Nama beliau saja sudah membuat badanku
bergetar.
Sejak
pagi aku hanya mampu bersenandung lirih,
Diatasnya langit, masih
ada langit...
(sambil
bertanya, kalo pak langit langit keberapa ya?)
Tak
usah terlalu takut, jangan biarkan ketakutanmu mengalahkan rasa ingin tahumu,
jangan biarkan suara petirnya menciutkan nyalimu, jangan biarkan kritik
pedasnya, membuyarkan asamu, jangan biarkan persepsimu tentang beliau,
membentengi dirimu dari sumber ilmu.
Hari
ini pertemuan pertamaku dengan Suhu Langit Kresna Hariadi. Sosok yang begitu
terkenal itu. Aku harus berani!
Seperti
biasa aku membonceng Avi kemanapun kupergi. Kebetulan rumah pak Langit tidak
jauh dari rumah Avi. Dan seperti biasa, anggota laskar yang lain belum
kelihatan. Apa Avi selalu begitu di Laskar? Datang paling awal? Hehehe...
Dari jauh pak Langit sudah menyapa kami, malah
kebalik, beliau duluan yang mengucap salam. Sosok tinggi besar dengan
penampilan casual, jauh dari bayanganku tentang beliau. Senyumnya mengembang,
dan suaranya memang menggelegar, tapi jauh dari menyeramkan, malah justru aku
menangkap nada keramahan. Sedikit lega, tidak setakut sebelumnya.
Kami
memasuki rumah beliau yang nampak sudah disiapkan khusus untuk pertemuan hari
ini. Sebuah laptop dengan cover keemasan tergeletak di atas meja. Laptop
seorang sastrawan hebat, dari warnanya saja sudah terasa beda.
Kami
berbincang sejenak, ceritanya tentang putrinya mengalir, tersirat kebanggaan
sebagai seorang ayah. Dan senyumnya sesekali mengembang menepis semua bayanganku
tentang sosok Rahwana (hehehe, maafkan daku Suhu). Lebih mirip seorang Kresna,
seperti nama tengahnya. (semoga tidak ada yang ge-er).
Aku
lebih terhenyak lagi, ketika sebuah gerobak sampah melintas di depan rumah pak
Langit, beliau memanggil si abang tukang sampah, sebuah sarung biru kotak-kotak
menjadi hadiah lebaran yang tentu sangat berarti bagi abang tukang sampah tadi.
Itukah sosok yang menakutkan? Aku tersenyum menyadari aku sudah terlalu keliru.
Ini memang Kresna kok, dan kita-kita ini, apa ya memang sapi gembalaannya?
Hihihihi...
Sebuah
sms masuk ke Hp Avi, memberi kabar, sebagian anggota laskar datang belakangan,
ada berita lelayu dari seorang kawan. Pak Langit memutuskan tidak membuang
waktu, karyaku dibahas terlebih dahulu. Hatiku kembali ciut, sadar betul banyak
sekali kekurangan disana sini.
Aku
terpesona, pada cara beliau membaca, aku sampai pangkling dengan karyaku sendiri, ini nyata atau mimpi belaka,
karyaku dibaca seorang sastrawan, diperbaiki disana-sini, dan yang paling
menyenangkan aku mendapat pelajaran baru soal struktur, dimana aku memang buta
huruf sama sekali soal itu. Aduh pak, aku kok ya jadi pengen nangis, terbayang
bapakku yang jangankan membaca, mendengarkan aku membacakan satu karya saja
mungkin hanya ujungnya, karena keburu terlelap (piss Abah piss...).
Teman-teman
mulai berdatangan, kini aku bisa melihat jelas wajah-wajah anak laskar. Semua
nampak antusias menyimak satu demi satu karya yang dibacakan. Kami terhanyut
dalam parade cerpen di padepokan sastra Langit Kresna Hariadi, beliau
membacakan cerpen kami dengan nada bariton yang harmonis.
Dalam
hati mengalir rasa takjub, bukan hanya pada kemampuan beliau berolah sastra,
tapi justru pada telaga kesabarannya dalam menghadapi kami. Secara detail
membahas karya kami yang “bukan siapa-siapa”. Tak terbayang kekuatan
semangatnya, padahal dalam kondisi puasa, tapi semua karya itu dibaca masih
dengan nada bariton yang menggelegar. Beliau membacakannya dengan minat yang
tidak berubah, tetap konsisten, begitu detail dan teliti. Satu persatu karya
dibedah, wajah itu nampak lelah, tapi tidak juga mengurangi kepekaannya
terhadap struktur karya kami.
Aku
harus mengakui, pak Langit memang manusia langka! Ini bukan soal struktur pak,
sungguh! Ini soal pelajaran moral dan budi pekerti. Kami datang untuk berguru
pada seorang pakar, hanya bermodal baju yang kami pakai, membebaninya dengan
pertaruhan nama besar, masih pula diberi semangat. Bahkan sudah seperti itupun beliau masih
membuka peluang bagi yang karyanya belum dibahas, dan sudah begitu kami masih
harus menikmati jamuan buka puasa yang sangat istimewa.
Takkan
terlupa, aneka suguhan luar biasa, terlebih makan pepes ikan yang tiada tanding
rasanya, ditambah bumbu rahasia, ketulusan dan rasa lapar, wuih, gurihnya
nendang sampai salto. Rasa memang tak bisa bohong!
Pak
Langit, terimaksih, sejujurnya semangatmu adalah motivasi kami untuk berkarya,
bukan hanya untuk lomba Solopos. Pak, insyaAllah, kami para murid akan terus
memompa diri. Kami akan terus berkarya Pak! Sepanjang hayat kami Kami janji,
kami tidak akan menyiakan ketulusanmu mengajari kami Suhu.
Suatu
saat akan ada satu anak Laskar, dua anak Laskar, tiga anak Laskar, dan banyak
anak Laskar, menjadi penulis buku-buku bermutu. InsyaAlloh.
Jazakumulloh
khoir Suhu!
(Ied ide I did)