Minggu, 04 September 2011

Buat Apa Sekolah?

Beberapa hari lalu, sejumlah remaja Indonesia khususnya yang berdomisili di ibu kota telah dihebohkan oleh konser Justin Biebber, seorang artis muda yang sedang naik daun. Kabarnya, dalam sehari panitia konser mampu menjual habis tiket JB yang harganya sekitar 500 ribu hingga 1,6 juta rupiah. Sebuah angka yang tidak bisa dibilang murah untuk rakyat Indonesia. Kapasitas gedung yang hanya 10.500 orang tidak cukup untuk menampung fans JB di daerah Jakarta dan sekitarnya yang kabarnya mencapai 2,7 juta fans, sebuah angka yang fantastis untuk jumlah manusia.


Para fans tersihir ketika melihat artis pujaan mereka. Sebagian berteriak histeris, sebagian bahkan sampai pingsan. Jika tiba-tiba ada musuh menyerang, tentu para fans JB yang mayoritas pemuda itu tentu akan kelabakan. Melihat kondisi ini, kita coba mengingat kembali ucapan sang proklamator, Bung Karno yang sangat terkenal, “Berikan padaku 10 orang pemuda, niscaya akan kuguncang dunia!” Sungguh ironis, beberapa hari lalu kita saksikan seorang pemuda dari Amerika telah mengguncang ibu kota, membuat jutaan pemuda tak berdaya. 

Jaman memang sudah berubah, waktu 24 jam sehari terasa lebih singkat. Informasi di belahan dunia bagian utara, dalam hitungan detik akan sampai di belahan bumi bagian selatan. Proses asimilasi budaya menjadi hal yang amat murah, seperti junk food yang gampang didapat, banyak penggemarnya tapi ternyata sampah! 

Faktanya seorang anak SD menuliskan sebuah keyword Naruto dalam google search namun yang dilihatnya justru gambar-gambar seronok! Sungguh begitulah kenyataan yang disuguhkan jaman. 

Jika Ki Hajar masih hidup, mungkin beliau akan menangis melihat sekolah tak bisa mewujudkan cita-cita luhurnya, menjadikan sekolah tempat transfer ilmu sekaligus moral. Guru kehilangan pesan tut wuri handayani, sistem atau memang perbedaan standar pencapaian telah membuat moral menjadi anak tiri. Target nilai akademis seakan membuat para guru terlalu sibuk untuk memperhatikan rok anak didiknya yang terlalu naik di atas lutut, bajunya yang kesempitan, tato cap coro dan cicak yang melingkar di lengan, atau bau rokok yang menyengat di mulut siswanya, apalagi soal siswa yang nyontek dalam ujian. Ini sudah menjadi lumrah, jaman sudah berubah! 

Dalam Al-Qur’an, pendidikan adalah proses tarbiyah. Tarbiyah bukan sekedar taklim, taklim hanyalah transfer ilmu, sedang tarbiyah adalah transfer ilmu sekaligus nilai luhur dan penanaman karakter, memiliki tujuan jangka panjang yang jelas, berada dalam tahap-tahap, sehingga berlangsung dari buaian hingga liang lahat, sebab selama manusia masih dibekali nafsu maka dia harus dibekali nasehat, inilah pendidikan. Adalah lelucon jika kita berharap negeri ini adil, makmur, sejahtera, aman, sentosa jika kita membiarkan generasi mudanya tenggelam ke ufuk barat, padahal matahari terbit dari timur. 

Generasi hari ini adalah pemimpin masa depan, moralnya hari ini, adalah gambaran kepemimpinannya di masa yang akan datang. Wajar jika tukang contek menjadi koruptor. Nilai seakan menjadi dewa, sehingga proses bisa menghalalkan cara. Ini jelas aliran sesat! Sekolah memang memiliki tanggungjawab terhadap anak didik, namun yang lebih penting dari itu adalah peran keluarga, sebagai sekolah pertama bagi setiap anak. Jika kurikulum pendidikan kita hanya memberikan porsi kecil terhadap pendidikan moral dan agama, mengapa kita tak berkesimpulan itu adalah tanggungjawab kita sebagai orang tua? 

Sebuah kelucuan yang sering terjadi adalah ketika orang tua menjadi sosok yang phobia terhadap hal-hal yang berbau agama. Mereka begitu khawatir anaknya terjebak dalam aliran sesat, sehingga melarang keras anaknya ikut pengajian apapun, sedang dirinya juga tidak mengajarkan persoalan agama pada anaknya. Tidak paham agama jelas sesat! Kalau ngaji, mungkin bisa terjebak aliran sesat, tapi sudah barang tentu dengan mengaji kita sedang mencari petunjuk. Jaman sudah semakin transparan, yang hak itu jelas, dan yang batil itu jelas. 

Melarang anak mengaji jelas bukan tindakan bijak, jika khawatir anak terbawa aliran sesat, mengapa tak kita dampingi, jika kita tak paham, mengapa kita tidak belajar pula? Jika kita masih pongah, maka seakan kita berkata, “lebih baik sesat daripada ikut aliran sesat!” sungguh keduanya sama-sama menyesatkan. 

Kehidupan ini akan berujung pada sebuah pertanggungjawaban. Akan ditagih kembali oleh Tuhan, tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaNya. Segala perbuatan akan dipertanyakan. Ijazah, gelar, pangkat dan segala atribut dunia yang kita kejar dan menjadi kebanggaan, hanya akan memperpanjang deretan pertanyaan, untuk apa? Untuk siapa? Mau dibawa kemana? 

Ini adalah garis merah, sebuah tanda yang akan memberi nilai pada ruang kosong, ini adalah visi hidup. Anak kita harus tahu, untuk apa mereka mempelajari bahasa dan matematika, atau barangkali sejarah bangsa-bangsa dan peta dunia. Ini semua tidak terlepas dari ikrar kita, saya seorang muslim, prinsip hidup saya adalah khoirunnas anfauhum linnas, saya harus bermanfaat bagi ummat, menjadi rahmat bagi seluruh alam. (wallohu’alam bisshowab)- (Ied ide I did)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas apresiasinya, semoga menjadi bahan perbaikan ^^