Minggu, 04 September 2011

Ramadhan Kehilangan Zuhud-nya

Sya’ban telah merangkak menjauhi kita, dan dengan langkah pasti Ramadhan akan segera hadir menjadi tamu istimewa. Benarkah? Apakah benar Ramadhan adalah tamu istimewa kita? Sedangkan Ramadhan hanyalah nama sebuah bulan, tak ubahnya bulan-bulan yang lain. Apalah arti sebuah nama, mengapa Ramadhan menjadi begitu istimewa? 

Para pengusaha garmen dan konveksi menyahut bersemangat, “Jelas istimewa!, karena dagangan kami laku keras di bulan Ramadhan.”, tak ketinggalan para pengusaha ritel juga merasakan dampak Ramadhan sebagai suatu momen untuk meningkatkan omset penjualan. Hotel-hotel bintang lima dan restoran-restoran berkelas membuat menu dan paket khusus Ramadhan. Biro perjalanan umroh mengalami peningkatan permintaan pula di bulan ini. Media masa dari cetak sampai elektronik menjadikan Ramadhan sebagai tema utama dalam rangka meraih rating setinggi-tingginya. Beberapa usaha dadakan juga menjamur, mulai dari penjaja kolak pisang, sampai usaha parcel dan kue lebaran. Sungguh bulan Ramadhan ini secara sadar atau tidak telah menjadi suatu komoditi yang mampu menjadi energi penggerak bagi dunia bisnis. 

Masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk mengistimewakan bulan ini. Para ibu rumah tangga sibuk membuat menu istimewa untuk sahur dan berbuka, para ayah bahkan sudah jauh-jauh hari mengumpulkan pundi-pundi untuk keperluan Ramadhan dan Iedul Fitri. Beberapa masyarakat memulai aktivitas bulan Ramadhan dengan berbagai ceremoni khas daerah setempat, pawai obor, sepeda hias, atau lomba-lomba. Anak-anak tak mau ketinggalan, mereka dengan antusias menyisihkan uang sakunya untuk membeli mercon dan kembang api, tidak hanya itu, mereka juga bahagia karena mendapat surprise baju baru dan uang fitrah setelah berpuasa sebulan penuh. Apakah alasan itu yang membuat bulan ini menjadi layak dan pantas untuk kita nanti sebagai tamu istimewa? 

Sungguh bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan berkah, rahmat dan ampunan. Tentu kita sebagai ummat Islam sudah sejak dulu mengimani hal tersebut. Kita berlomba-lomba memperbanyak pahala di bulan ini. Nuansa Ramadhan sangat terasa, dari kampung hingga ke kota, masjid dan surau-surau menjadi semarak dengan berbagai kegiatan bernuansa muroqobatulloh. Hal ini tentu sudah menjadi barang yang lumrah. Namun, tanpa kita sadari, ada budaya materialistis yang tengah menyusup ke tengah-tengah Ramadhan. Begitu lembut ia menjelma, sehingga kita terbuai dan melupakan pelajaran-pelajaran penting dalam bulan penuh berkah ini. 

Bulan ini adalah bulan tarbiyah. Aspek penting dalam bulan ini adalah sifat zuhud. Salah satu pengertian zuhud sendiri adalah meninggalkan rasa kenyang. Kita dilatih untuk meninggalkan rasa kenyang dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Zuhud juga memiliki definisi sebagai meninggalkan berbagai hal yang melalaikan dari mengingat Alloh. Segala bentuk kemaksiatan atau bahkan hal mubah yang sifatnya mampu membuat kita terlena dari mengingat Alloh, tentu itu harus kita tinggalkan. 

Lalu kezuhudan itu mulai bergeser, Dengan dalih agar anak-anak merasa termotivasi menjalankan ibadah Romadhan, maka orang tua memanjakan mereka selama bulan ini. Dimulai sejak iming-iming menu buka dan sahur yang menggoda selera, membuat kita ingin mengisi penuh perut kita dengan berbagai makanan. Mengisi penuh kulkas kita, menumpuk kue-kue lebaran aneka rupa sebagai cemilan berlebihan. Belum lagi aneka masakan istimewa di hari lebaran. Termasuk di dalamnya tradisi baju baru, mukena baru, dan segalanya yang serba baru, bahkan sebagian orang memaksakan untuk membeli aneka perabot baru. Seakan Ramadhan adalah belenggu bagi nafsu kita yang mencari jalannya untuk mendapat kepuasan, dan Iedul Fitri adalah hari pembebasan yang pantas kita rayakan dengan berlebih-lebihan. 

Kezuhudan itu juga harus dikorbankan, ketika kita menjadi penikmat hiburan khas Ramadhan yang senantiasa ditayangkan oleh televisi. Waktu-waktu langka dan berharga, yang hanya mampu kita nikmati selama satu bulan sepanjang tahun, harus kita tukar dengan hiburan murahan. Padahal di bulan inilah berbagai kemurahan Alloh tengah diberikan. 

Maka persis seperti dijelaskan dalam salah satu hadist, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya melainkan hanya rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy).”, begitu pulakah dengan Ramadhan kita? 

Siapa yang memulai tradisi materialistis tersebut bukanlah PR bagi kita. PR kita adalah bagaimana tradisi materialis itu terkikis dari budaya ummat. Tak mungkin kita menyalahkan orang tua yang terlanjur membiasakan tradisi materialistis itu. Disinilah kita harus mengambil peran, sebagai pemuda, keluarga-keluarga muda, untuk menanamkan pada diri kita, anak kita, lingkungan kita, agar mulai mengembalikan tarbiyah zuhud yang menjadi pelajaran dari bulan Ramadhan. 

Sungguh jika kita menghitung-hitung nikmat Alloh, maka alangkah sulit kita menghitungnya. Betapa banyak nikmat yang telah kita rasakan, betapa tak sebanding dengan ujian yang pernah kita hadapi. Begitupun satu bulan saja dalam setahun, kita menerima ujian berupa tamu kehormatan. Malu rasanya mengenang Romadhan Rosululloh dan para sahabat. Mereka yang begitu teguh dalam menjalankan ibadah. Hari-hari kompetisi untuk meraih prestasi dihadapan Ilahi. Bahkan jika kita tengok dalam sejarah, begitu banyak kemenangan yang diraih oleh ummat Islam dalam berbagai peperangan yang dilaksankan di bulan Ramadhan. Semua ini tentu mengandung pelajaran besar bagi kita. Kemenangan apa yang telah kita targetkan di bulan istimewa ini? Semoga Ramadhan tahun ini menjadikan kita pribadi muttaqin yang terpelihara dan istiqomah hingga ajal menjelang. 
 
Wallohu’alam bishowab. (Ied ide I did)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas apresiasinya, semoga menjadi bahan perbaikan ^^