Jumat, 23 September 2011

Nilai Rp. 40.000

Seperti biasa, suasana Ahad pagi di GOR Satria memang lebih ramai dari hari biasanya. Orang-orang memanfaatkan hari libur untuk berolahraga, dan rupanya GOR memang tempat yang cocok untuk berolahraga. Tidak tua, tidak muda, dari kakek nenek sampai muda-mudi yang sambil menyelam minum air, alias olahraga sambil tebar pesona. Para pedagang memanfaatkan momen itu dengan baik. Prinsipnya dimana ada orang pasti ada kebutuhan, kebutuhan menciptakan pasar.

Jenis dagangan yang dijajakan juga sangat bervariasi, tapi utamanya didominasi oleh penjaja makanan. Warung-warung tenda dan gerobak-gerobak makanan berderet di sepanjang jalan depan GOR, beraneka jenis pedagang makanan khas sarapan pagi sudah sejak pukul lima pagi standby siap menerima konsumen.

Semakin hari nampak semakin padat saja. Selama menjaga kebersihan dan ketertiban tentu tidak menjadi soal. Malah justru bisa menambah pemasukan bagi pemerintah. Karena setiap pedagang memang dikenai retribusi yang ditarik oleh petugas pengelola GOR.

Pagi ini aku kebetulan bertugas untuk mencari sarapan ke GOR. Aku lihat ada sebuah warung tenda yang cukup padat pengunjungnya, katanya kalo padat pengunjung enak rasanya. Menu yang ditawarkan adalah lontong opor, bubur ayam, nasi uduk, dan empal gentong. Aku melirik ke salah satu pembeli yang sedang menikmati semangkuk lontong opor, lahap nian dia menelan setiap sendok dari mangkuknya. Produksi saliva dalam mulutku langsung meningkat. Aku ingin sekali menanyakan harga satu porsinya, tapi kulihat antrian sangat padat, akan mengganggu penjualnya kalo aku harus tanya-tanya harga, akhirnya aku langsug memesan enam bungkus lontong opor. Semahal-mahalnya lontong opor apa bisa lebih dari Rp. 5000? tanyaku dalam hati, sebab ini di Purwokerto, dekat kampus pula, biasanya harga makanan lumayan miring.


Seorang pedagang koran mendekatiku, menawarkan koran-koran ditangannya. Daripada hanya bengong menatap orang lalu lalang, atau malah ngiler karena melihat para pembeli yang sedang makan, sambil menunggu antrian lebih baik aku baca koran. Asyik rasanya menikmati udara pagi yang segar sambil baca koran. Kompas Minggu seharga Rp. 3500, aku memang cuma membawa uang Rp. 40.000, agak takut uangnya kurang juga sich, tapi kutenang-tenangkan kembali hatiku.

Ketika sedang asyik baca koran, ibu penjual lontong opor itupun memberi tahu, pesananku sudah selesai dan menunggu dibayar. Tentu saja aku segera bertanya berapa jumlah yang harus kubayar. Si ibu berkata mantap, "Empat puluh dua ribu!"

Aku kembali bertanya, "Yang lontong opornya enam, Bu!" ucapku meyakinkan ibu tadi tidak salah memberi harga.

"Iya, yang lontong opor 6 bungkus!" ucapnya lagi

Aku tersenyum penuh makna, kukeluarkan semua uang yang tersisa dalam sakuku, menyesal rasanya tidak bawa dompet, maksud hati biar ngirit, ternyata malah kurang duit. "Eng, maaf Bu, uangnya ternyata kurang, boleh dikurangi satu bungkus?" Orang-orang yang sama-sama sedang mengantri menatapku penuh arti. Aku sungguh tak perduli, yang ada dikepalaku hanya satu, berapa laba si penjual lontong opor?

Begitu sampai di rumah, aku tak sabar menahan rasa penasaranku, langsung kubuka sebungkus lontong opor dalam plastik bening ukuran setengah kilo. Bukan porsi besar, mungkin hanya sebuah lontong, bertabur daging ayam suwir, dan telor yang hanya separuh, ditambah seplastik kuah opor dan seplastik kecil kerupuk warna-warni. Mungkin mahal karena rasanya sangat lezat, bathinku. Buru-buru aku mengambil sendok, langsung kulahap lontong opor di depanku, hemm, lumayan, tapi... aku kembali tersenyum.

Pelajaran yang kudapat, mulai sekarang, seramai apapun penjualnya, jangan ragu menanyakan harga sebelum memesan.

(Ied ide I did)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas apresiasinya, semoga menjadi bahan perbaikan ^^