Jumat, 04 November 2011

Pertemuan Pertama

Hujan mengguyur bumi Purwokerto bagian utara tanpa ampun, dan aku masih harus mengunjungi satu orang lagi, dengan alamat yang entah dimana, aku harap ini semua akan sepadan dengan perjuanganku (jiaaah, baru segitu doang!).

Setelah lima kali bertanya, dua kali kesasar dan tiga kali hampir jatuh, akhirnya aku menemukan sebuah alamat yang sebelumnya tidak pernah aku datangi. Bersyukur bisa menemukannya, dan berharap bisa secepatnya pulang, karena bajuku sudah basah kuyup meski memakai mantel.

Kuketok pintu, sekali dua kali, tidak ada jawaban, aku mulai putus asa, khawatir pada ketukan ketiga tak ada yang membuka pintu, maka aku putuskan untuk SMS dulu. Dan semenit, dua menit, tiga menit, kutunggu SMS balasan, tetap nihil. Jatahku tinggal satu ketukan dan salam, kuputuskan untuk melebihkan volumenya. Sebuah suara terdengar dari dalam, aku masih belum jelas, sebab itu tidak terdengar seperti jawaban salam.

“Lewat pintu samping!” akhirnya aku bisa menangkap maksud suara dari dalam.

Khas rumah kos, punya pintu samping untuk tamu anak kos, dan pintu utama untuk induk semang. Kubuka pintu samping, lantainya tergenang air hingga sampai betis, aku tidak tahu apakah aku akan masuk rumah orang dalam kondisi seperti ini. Lalu sebuah pintu kembali terpampang di depanku. Pintu kecil, kalau ada orang yang beratnya 80 Kg barangkali harus masuk lewat pintu depan.

Aku kembali mengetuk pintu itu, sekeras yang aku mampu dan masih dalam batas sopan. Sekali, dua kali, tiga kali, saat hendak melangkah pergi sebuah suara mencegahku. Hatiku terasa amat lega. Kutunggu pintu dibuka, masih belum terbuka, lalu sayup kudengar suara dari dalam, “Masuk aja ukh, tidak dikunci.”

Aku kembali menghela nafas, aku hampir lupa, ini kost-kostan , dan entah mengapa hampir setiap kost yang pernah aku datangi punya peraturan menyebalkan macam itu. Kurang sopan menurutku, membiarkan tamu berdiri di luar, mengucap salam, tanpa ada seorang pun yang menyambut.

Biar saja aku masuk dengan baju basahku, setidaknya penghuninya harus membersihkan lantai karena kondisiku.

Sebuah pemandangan tak biasa ada dihadapanku. Kardus-kardus karton ukuran besar berjajar disamping kanan kiri dinding, di atasnya pakaian-pakaian basah sedang dianginkan, lalu beberapa kertas snack sedang dalam proses pelipatan untuk dibuat kotak. Dan seorang gadis yang tersenyum menatapku. “Mbak Syifa?” tanyanya kemudian.

Aku tersenyum dengan ekspresi yang sangat buruk, antara rasa bersalah karena telah membuat lantainya basah, dan takjub dengan pemandangan yang baru saja kulihat. “Ya, maaf lantainya basah.” Ucapku sambil menyalaminya, dan beberapa tetes air dari bajuku sukses mendarat di kertas snacknya. Dan aku tahu aku harus segera menyingkir dari benda apapun dihadapanku sebelum mengacaukan semuanya.

Tapi dia malah mencegahku, gerakannya cepat membereskan barang-barang di hadapanku, dan membuat sebuah space untukku duduk.

“Sebenarnya aku tidak akan lama.” Ucapku.

Tujuanku datang memang hanya untuk memberikan setoran uang konsinyasi pada gadis itu, seseorang yang telah beberapa bulan menitipkan barang dan aku bahkan tidak tahu siapa orangnya.

Lalu belum ada semenit aku duduk, gadis itu sudah membawa segelas madu, dan sepiring rogut yang nampak lezat. Membuatku tak mungkin menolak untuk duduk sejenak di hadapannya.

“jangan dipikirin basahnya mba, basah kan bisa dipel.” Seperti bisa membaca pikiranku dia memulai pembicaraan.

Lalu aku mulai mendengarkannya bercerita. Aku heran, biasanya aku yang lebih dominan, kali ini aku mendapat seorang teman yang jauh lebih cepat bicaranya dariku, aku tersenyum penuh arti, menertawakan diriku sendiri, yang bahkan tak bisa segera menyampaikan tujuan kedatanganku.

Lima menit, sepuluh menit, setengah jam, dan lewat dari satu jam, aku masih duduk bersimpuh dalam posisi yang sama, dengan bajuku yang sudah mulai terasa hangat. Mendengarkan ceritanya, visi misinya dan hal-hal hebat yang telah dicapainya. Bagiku dia punya magnet untuk membuat telinga kita bisa mendengar lebih lama.

Aku tidak menyesal, beberapa kesimpulan yang aku dapatkan dari cerita dan kisah perjuangannya selama ini berkiprah menjadi seorang marketing produk thibunnabawi dan herbal.

Pertama aku belajar soal keberanian, dia memulai semuanya sendiri, dan kini dia menguasai pasar herbal di Purwokerto, dia bahkan menyetok hingga ke supermarket besar, dia menjadi pemasok hingga sepuluh produk.

Kedua, dia memberikanku pelajaran tentang segala macam tipu daya yahudi dan berbagai model penjajahan, dan bagaimana upayanya untuk menciptakan sistemnya sendiri, dengan keyakinan bahwa pintu rizqy yang paling besar adalah dari perniagaan.

Ketiga, dia mengatakan sebuah hal penting, dia tidak perlu SPG dan penampilan yang menarik untuk bisa memasuki pasar, ini termasuk ke dalam cita-citanya untuk membangun image bahwa pemasaran tidak butuh penampilan. Aku cukup takjub, dan sedikit berkerut-kerut, tapi dia memang membawa bukti, bukan sekedar ucapan kosong. Dia bertemu dengan manajer-manajer itu dengan jilbab hitam dan jubah hitamnya.

Keempat, dia mengajariku tentang branding produk halal dan toyyib dengan jaminan bahwa kita seorang muslim, dan itu sudah lebih dari cukup ketimbang sertifikat MUI atau Depkes, lagi-lagi aku takjub.

Kelima, ketika aku sampaikan bahwa  aku agak kurang familiar dengan label bertuliskan “Menghindari zat non aditif”pada rogout buatannya, dia sampaikan bahwa dari sanalah orang akan membuka komunikasi untuk bertanya, sehingga dia bisa memasukkan pemikirannya pada orang-orang yang terbuka hatinya.

Keenam, adalah bagaimana dia menyulap segala hal di ruangannya, dalam keterbatasan ini, dia membuat sesuatu yang besar. Apa yang semula kuartikan sebagai berantakan, ternyata ini adalah aset. Meski aku tetap lebih suka kalau dia punya gudang yang terpisah dari ruangan pribadinya.

Ketujuh, hal yang paling membuatku takjub, dia tidak menjual produk yang sama dengan yang telah dijual oleh ikhwah lain pada orang yang sama, jadi dia mencari atau bahkan menciptakan pasar baru, yang tidak mengganggu pasar saudaranya! Ini menakjubkan!

Masih banyak hal yang ingin kugali darinya, meski dahiku berkerut-kerut mendengar segala hal tidak biasa yang terucap dari lisannya, tapi sejujurnya itu membuatku berpikir selangkah lebih maju. Kadang teori yang kita pelajari memang banyak membantu, tapi sesuatu yang kita yakini, itu jauh lebih membantu. Dia meyakinkanku akan hal itu.

Lalu aku mendapat ide untuk membuat sesuatu dengannya, dan hal yang paling membahagiakan, dia setuju! Semoga saja ini akan berhasil seiring dengan usaha kami untuk mewujudkannya.

Saat akan berpamitan, dia membungkus beberapa potong rogoutnya dalam kardus roti, lalu dia juga membawakanku seplastik selai pisang produknya, semuanya dibuat dengan minyak kelapa pilihan dan bahan-bahan yang diyakininya sebagai nomor satu. Aku percaya, dan dengan senang hati membawa semua oleh-oleh itu.

Alhamdulillah, ini sungguh sepadan. Jazakumulloh wa bariklanaa
(Ied ide I did)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas apresiasinya, semoga menjadi bahan perbaikan ^^